Jumat, 05 Juni 2009

Mengukur Kekokohan Pemahaman Kita

Oleh : Arif Atul M Dullah

Dalam sebuah perjalanan, adalah suatu hal niscaya badai cobaan dalam perjalanan kehidupan yang panjang itu akan kita temui. Berat bahkan lebih berat. Kadang ia menyesakkan. Mungkin juga membuat kekokohan karakter, kekokohan mental, kekokohan iman menjadi terkikis. Mungkin habis dan atau tidak tersisa sama sekali. Atau juga sebaliknya, semakin memperkokoh pijakan kaki kita di atas jalan kehidupan.

Begitu juga dengan perjalanan sebuah harakah dakwah. Ada masa dimana ia berjalan indah tanpa tekanan, tanpa cercaan. Tapi, sebuah tabiat perjalanan sebagaimana Rasulullah SAW dan sahabatnya, pernah melalui suatu fase dakwah yang penuh dengan tekanan, cercaan, bahkan pengsuiran dan pembunuhan. Mekkah menjadi awal tekanan berat perjalanan dakwahnya. Sekitar 10 tahun manusia-manusia peradaban itu dididik dalam tekanan. Disanalah dimulai pengorbanan itu sampai akhirnya mereka juga harus meninggalkan tanah kelahiran tercinta, Mekkah. Menuju satu tanah baru, Kota Madinah. Namun, tekanan itu belum berakhir. Lima tahun dalam perjalanan awal dakwah, perjalanan awal menyeru manusia di tanah baru, menjadi fase-fase yang jauh lebih sulit. Tidak kurang 48 kali pertempuran yang harus di alaminya untuk mempertahankan eksistensinya. Sebelum para budak itu, para kabilah yang tidak pernah dihitung oleh imperium besar di masanya, Romawi dan Persia berubah menjadi manusia-manusia langit yang memimpin manusia. Menjadi sokoguru peradaban bagi manusia. Di awali oleh kalimat sang Rasul “Hari kita akan menyerang mereka, setelah itu mereka tidak akan pernah menyerang kita lagi” saat perang Khandaq, sampai penaklukan Andalusia Spanyol.

Situasi sulit memang tabiat perjalanan ini. Tekanan, cercaan, hinaan bahkan kadang darah juga menjadi harga yang harus dibayar sebelum sampai pada masa-masa kemenangan dan kejayaan. Seperti darah yang harus mengalir dari tubuh penghulu para syuhada, Hamzah Bin Abdul Mutalib, dan sekitar 70 sahabat lainnya yang menjadi syuhada. Itu bayarannya. Tapi, setelah itu mereka dicatat sebagai pasukan yang tidak pernah lagi mengalami kekalahan dalam semua pertempuran. Karena disanalah mereka belajar, tentang harga sebuah kekeliruan sikap dalam perjuangan. Bahwa harta rampasan perang, dunia, dan kedudukan bukan cita-cita yang harus memalingkan mereka dari cita-cita tertinggi, meninggikan kalimat Allah.

Perjalanan sebuah harakah dakwah pasti akan melalui fase ini. Kadang cercaan itu, terasa menyesakkan dada, membuat kita ingin marah, berteriak dan memberontak.Tetapi, disinilah kita di uji. Disinilah kekokohan pemahaman, kekokohan karakter manusia-manusia haraqah itu teruji. Menguji pemahaman kita tentang tabiat jalan ini. Menguji pemahaman kita tentang manhaj dakwah kita. Untuk mendorong kita terus beramal dalam situasi sesulit apapun. Sebagaimana tekanan yang dialami oleh para pendahulu dalam haraqah dakwah ini. Mereka telah membayarnya dengan pengorbanan harta, waktu dan energei yang sudah tidak bisa kita hitung, bahkan ada yang telah menjemput syahidnya menuju syurga.

Tapi, tidak selamanya kesulitan akan ada. Harapan itu selalu ada. Ada masa dimana kesulitan, tekanan, cercaan itu akan pergi. Kebatilan dan kesulitan itu akan roboh. Lalu kebenaran akan tegak dengan pilar-pilarnya yang kokoh. Setelah itu kita akan menemukan bahwa, orang-orang yang tetap bertahan diujung jalan ini adalah mereka yang memiliki kekokohan pemahaman tentang tabiat jalan ini. Tentang manhaj dakwah ini. Mereka adalah orang-orang yang terus beramal ditengah kerasnya badai kehidupan di jalan ini.

readmore »»ǴǴ

Kamis, 04 Juni 2009

Menakar Kepemimpinan Ideal dari Kacamata Sejarah

Kita dihadapkan kembali pada masalah hitung-hitungan yang terbaik dari para Capres-Cawapres. Mereka tampil dengan jargon yang terkadang membuat kita terpesona dengan itu semuanya. Memang, adalah sebuah hal yang wajar dalam dunia politik ketika kita dihadapkan pada masa “pertarungan”. Namun, sejarah kepemimpinan juga bisa menjadi catatan besar bagi kita untuk berkaca. Sebagai tempat kita belajar. Untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik tentunya..

Sejarah–sejarah besar sepanjang peradaban manusia senantiasa diukir oleh orang-orang yang sedikit. Masyarakat secara umum bisa kita kategorikan dalam dua kelas yaitu kelompok pemimpin dan kelompok masyarakat awam. Satu fakta bahwa hadirnya sebuah bangsa atau peradaban besar itu, faktor kepemimpinan adalah yang paling dominan dalam menentukan kebangkitan sebuah bangsa menuju pada harga diri yang tinggi dimata bangsa-bangsa lainnya. Demikian pula kebutuhan bangsa ini hari ini. Tentu saja harus ada sosok yang mampu mengantar bangsa ini keluar dari keterpurukan yang telah lama menggerogoti nadi dan tubuhnya.
Tidak perlu belajar kepada orang-orang bangsa lain, Rosevelt, Fidel Castro, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi atau siapapun, meskipun tetap harus diakui bahwa mereka telah membuat catatan besar bagi sejarah bangsanya. Bangsa ini hanya perlu melihat lebih jauh kepada sejaranya sendiri, sebagai muslim dan sebagai sebuah bangsa yang pernah memiliki catatan manis dalam pentas sejarah peradaban dunia.
Sebagai Muslim tentu saja, kita bisa berkaca lebih banyak kepada Rasulullah SAW. Dialah yang hadir dipentas peradaban dunia, yang mampu mengubah harga sebuah bangsa, Bangsa Arab yang sebelum kehadirannya adalah bangsa yang tidak memiliki harga dan nilai apapun di hadapan imperium besar, Romawi dan Persia. Lahir di tengah-tengah kabilah yang senantiasa berperang diantara mereka, jahiliah, terhina, tak memiliki kekuatan. Kemudian para budak-budak itu, kaum kulit hitam di ubahnya menjadi pemimpin-pemimpin besar di pentas peradaban dunia.
Dialah sosok yang padanya akan kita temukan tiga karakter dasar. Pertama dia seorang visioner. Dialah yang pernah memecah batu untuk membuat parit dalam perang Ahzab, sambil setiap kali mengayunkan palunya untuk memecah batu ia berkata, “saya melihat pintu gerbang istana Parsi.” Itu visi, dan itu cita-cita yang ditanamkan secara kuat di hati para sahabat, terus menggelora sampai cita-cita itu terwujud. Kedua, memiliki kepribadian yang utuh. Dia jugalah orang yang memiliki kapasitas sebagai seorang manajer dan pemimpin kuat, tetapi ia juga adalah imam shalat setiap waktu shalat. Ini sisi keutuhan pribadinya. Visinya yang besar itu dibingkai oleh satu tujuan yang besar, yaitu kesejahteraan bagi masyarakatnya, untuk bangsanya, bukan untuk kepentingan pribadi, menuju satu cita-cita tertinggi yaitu syurga Allah. Adakah nilai yang lebih tinggi dari itu? Ketiga, memiliki kemampuuan untuk menjadi perekat semua elemen masyarakatnya. Di tengah bangsa yang majemuk, dengan berbagai macam suku, agama, kedaerahan dibutuhkan sosok seperti ini. Bukan dari mana ia berasal, tetapi yang terpenting adalah kehadirannya mampu menyatukan umat dan masyarakatnya.
Di bangsa ini, ada sosok Soekarno, Hatta, Soedirman, Imam Bonjol, Syaikh Yusuf Al Makassary. Merekalah yang hadir di tengah-tengah kebingungan, ketidakpastian nasib dan masa depannya. Memberikan harapan bagi orang lain, mau mengambil beban penderitaan rakyat untuk dipikulnya dan mengantar masyarakatnya kepada kemerdekaannya setelah dijajah lebih dari tiga abad. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk memberikan kontribusi terbaik bagi orang-orang yang dipimpinya, demi bangsa bukan pribadinya atau kelompoknya.
Dalam sejarah Nusantara ini juga, ada seorang Gajah Mada. Pemimpin yang memilik karakter dan kuat yang pernah memimpin negeri ini. Karismatik, pemberani, tegas, dan fisik kuat. Pemimpin yang menangis jika melihat rakyatnya kelaparan dan saat itu pula menginstruksikan untuk menanggulangi kelaparan tersebut. Bahkan ia berkata “ saya tidak akan memakan buah pala sampai saya bisa menyatukan seluruh nusantara”.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin seperti mereka, yang tegas, berani karena benar. Bukan pameran kelicinan berdebat, tetapi yang diperlukan adalah buah dari keintelektualan yang menunjukkan kualitas perbuatan nyata. Rakyat tidak menginginkan kualitas pemimpin arogan, yang hanya peduli pada golongan sendiri, kelompok sendiri, daerah sendiri, kerabat sendiri. Pemimpin mabuk kuasa, yang takut kehilangan kursi. Para pemimpin ini berdiri tegak di depan dengan panji-panji partai, dan di belakang, ribuan massa pendukungnya. Namun, suara pemimpin politik ini, meskipun berkata demi kepentingan seluruh bangsa, tetap saja ditafsirkn bagi kepentingan kelompoknya. Tokoh-tokoh ini adalah tokoh-tokoh dengan kepentingan golongan, massa tertentu, demi tujuan tertentu pula. Ia mengabdi untuk masa kini yang dekat dan untuk persoalan-persoalan aktual saja. Tanda gambarnya kami, dan bukan tanda gambar kita. Dan karenanya, sulit memperoleh kepercayaan dari massa dan golongan lain.
Tokoh pemimpin yang bisa diterima oleh seluruh golongan dan masyarakat bangsa adalah tokoh yang tidak memiliki massa golongan. Massanya adalah seluruh rakyat. Tokoh semacam itu barangkali memang berasal dari suatu golongan massa, tetapi memiliki kualitas di luar massa golongannya. Tokoh ini tidak berbendera, dan dengan demikian justru mewakili semua bendera, karena semua bendera yang ada bisa dikibarkannya. Ia tidak memiliki kepentingan kelompok, dan karenanya ia memenuhi semua kepentingan kelompok.
Tokoh yang mungkin bisa dipercaya ini adalah tokoh yang berkualitas trasendental, tokoh yang kepentingannya tidak-berkepentingan, yang massanya tidak-bermassa, yang suaranya bukan suara sekarang ini. Pemimpin yang diinginkan adalah yang kuat karakternya, yang tidak ragu untuk membenarkan dan menyalahkan. Pemimpin yang tidak melihat batas-batas golongan dan kepentingan. Pemimpin yang tidak ambivalen, yang berbicara melalui kerja. Berkuasa tetapi tidak menguasai. Kaya tetapi tidak memiliki. Cerdas tetapi menyembunyikan kecerdasannya. Jujur tetapi rendah hati. Termasyhur tetapi berlaku biasa.
Tetapi semua keinginan dan harapan itu juga ditentukan oleh factor lainnya yaitu tabiat masyarakat. Tabiat rakyat menentukan jenis pemimpin mereka karena pemimpin selalu hadir dari rahim sosialnya sendiri. Pemimpin adalah miniatur dari masyarakat yang dipimipinnya. Rakyat yang mencari pemimpin seorang raja akan mendapatkan raja, dan rakyat yang mencari seorang khalifah akan mendapatkan khalifah. Rakyat kerajaan menginginkan seorang bos, seorang penguasa. Rakyat khalifah menginginkan pemimpin yang mampu melayani. Rakyat kerajaan cenderung hedonis, rakyat khalifah berorientasi pada kebijakan sosial.
Maka perlu ada sikap baik dan lebih rasional dari masyarakat. Saatnya masyarakat harus berpikir lebih besar. Tidak lagi membingkai pilihan pemimpinnya berdasarkan perasaan-perasaan kerdil, karena suku, karena kerabat, karena budaya, yang tidak pernah bisa mengantar bangsa ini keluar dari masalah besar yang telah lama melilitnya..
readmore »»ǴǴ