Minggu, 18 Maret 2012

Laisa Minna


Jumat, 16 Maret 2012
Pukul 16.37 WiTA

Laju marahalah dakwah kini terus bergulir dan senantiasa menghadirkan harapan. Bahwa kesinambungan kinerja generasi awal yang merintis dakwah ini, akan terus berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah digariskan. Hal ini adalah satu kesyukuran, terlebih lagi, karena kita adalah bagian dari orang-orang yang _mudah-mudah_ membesarkan dan besar bersama dakwah ini, hingga dakwah ini merealisasikan tujuan besarnya sebagai guru bagi seluruh manusia.

Tapi di sana sini masih banyak kekurangan yang harus terus kita perbaiki. Kekurangan itu bukanlah suatu alasan yang membuat kita menahan laju gerak dakwah, tapi sambil jalan, kekurangan-kekurangan itu senantiasa kita perbaiki. Itulah salah satu makna, taubat

Karena taubat itu, juga bisa bermakna, evaluasi segala kekuarangan yang mungkin terjadi dalam amal dan semua langkah-langkah yang kita lakukan, bukan hanya taubat dalam makna memohon ampun.

Perluasan marahalah dakwah, juga bermakna pada besarnya jumlah kader, luasnya struktur, dan juga besarnya komunitas masyarakat yang harus dikelola. Dan kondisi ini akan menghadapkan kita pada satu masalah : bagaimana melakukan pengendalian?. Terlebih ketika marahalah dakwah ini menuntut kita untuk terus bergerak dan melakukan proses infiltrasi ke berbagai lembaga, dan elemen masyarakat, dengan harapan bahwa perubahan yang kita cita-citakan.

Menjawab pertanyaan ini, sebenarnya ada beberapa instrument yang bisa kita gunakan, salah satu yang paling kita kenal adalah melalui proses tarbiyah yang kita lakukan rutin setiap pekan, melalui bimbingan tangan-tangan dingin para pendidik.

Sebagai bagian dari lingkaran organisasi dakwah ini, kita tentunya memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan yang lainnya, untuk terus – menerus berkontribusi untuk mengantarkan dakwah ini, sampai kepada cita-citanya. Akan tetapi, kita semuanya akan dihadapkan pada tantangan, dan pertanyaan, apakah kontribusi itu, dan semua amal-amal yang kita lakukan di medan amal yang heterogen itu, berorientasi sama, kepada pencapaian tujuan dakwah itu sendiri.

Ada satu kaidah, yang kira-kira bisa menjelaskan makna, pengendalian, ketika secara struktural kita telah begitu luas dan kemungkinan akan kesulitan dalam berkoordinasi. Kaidah itu, adalah “kam fina walisa minna wakam minna walaisa fina” (ada banyak orang yang bersama-sama dengan kita, tapi ia tak bersama kita, dan ada banyak orang yang tidak bersama-sama kita, tapi sesungguhnya ia bersama-sama kita)”.

Tadi siang saya bertemu dengan seorang ikhwa, dan ia memperlihatkan saya sebuah halaman Koran, disitu terlihat berita positif tentang jamaah, kata si ikhwa, ini request kami kepada pimpinan redaksi Koran ini. Yach, mungkin memang si pimpred ini bukan kader, ia tak berhalaqah setiap pekannya dengan kita, tapi boleh jadi, orang seperti dia inilah yang dimaksudkan dengan ”…..orang yang tidak bersama dengan kita tapi sesungguhnya ia bersama dengan kita”.

Dalam makna inilah, alm. KH. Rahmat Abdullah, ketika mendefenisikan makna kaidah tersebut dengan mengatakan seperti berikut ini.
Ada orang, yang karena kesadaran keislamannya yang kuat, ia mampu menuntaskan tilawahnya, khatam dalam sekali sebulan. Dia juga, melaksanakan hak-hak orang dengan baik, tanpa ada yang kurang. Ia berpuasa rutin senin kamis. Qiyamul lail nya sangat rajin, dan dia juga rajin membangun silaturahim dengan tentangganya, menunaikan hak-hak dan kewajibannya sebagai anak. Dan seterusnya.

Orang seperti dia ini, meskipun ia membantah dengan keras, bahwa dia bukan bagian dari kita, bahkan dengan mati-matian ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah bagian dari para aktivis tarbiyah, sesungguhnya dia adalah bagian dari kita. Seandainya, dia memiliki kesadaran dan kegelisahan yang sama dengan mereka yang duduk dalam halaqah tarbiyah itu setiap pekannya. Jadi, kata beliau lagi “kekitaan” kita dalam kaidah itu, bukan karena adanya nama kita dalam daftar binaan seorang ustadz/ah, dan juga kita hadir dalam aktivitas pekanan itu, tapi “kekitaan” kita adalah karena kesiapan kita untuk memikul tanggung jawab dakwah ini lebih banyak dari yang lain.

Maka secara khusus, ketika Ust. Abdul Hamid Al Ghazali, menjelaskan tentang Pilar - Pilar kebangkian Umat” beliau menyebutkan bahwa, dari dua belas pilar kebangkitan, salah satu yang harus diingat dan tak boleh dilupakan oleh para penggiat kebangkitan adalah “FIKROH DAKWAH”.

Dalam konteks ini, Imam Hasan Al Banna, mengatakan: “…ketika Allah menurunkan Al Quran, menyuruh hamba-hamba-Nya mengikuti Muhammad SAW, dan meridhoi Islam sebagai agama bagi mereka, sesungguhnya Dia telah meletakkan –dalam agama ini- seluruh dasar yang mutlak dibutuhkan

Kalimat diatas adalah penjelasan tentang perlunya kesadaran dan pemahaman yang kuat dari para kader, para dai, para penyeru kebenaran tentang hakekat keislaman sebelum mereka bekerja. Dan bukanlah suatu yang tanpa pertimbangan yang mendalam ketika beliau memposisikan Al Fahm sebagai awal dari 10 karakter dasar para pemikul beban kebangkitan umat, dalam Al Arkan Al Baiah.

Jadi, menurut saya, proses pengendalian kita yang paling utama dalam makna ini adalah kesadaran tentang visi, dan kemampuan kita untuk menjelaskan bahwa setiap kerja-kerja yang kita lakukan, baik dalam kerja-kerja internal kita maupun kerja eksternal kita haruslah memiliki sumbangsih yang jelas bagi realisasi cita-cita dakwah.

Ketika memang, kita tak punya cukup banyak waktu untuk saling berkoordinasi. Maka yang mengendalikan kita adalah koridor visi, koridor kesadaran bahwa kerja-kerja kita dalam hidup mengarah pada satu titik yang sama. maka seharusnya proses pengendalian bias efektif melalui pewarisan fikroh dakwah ini dalam halaqah-halaqah pekanan itu. Dan itu juga berarti, kapasitas para pendidik harus benar-benar memadai. Memahami zaman dimana mereka hidup, agar dapat mengarahkan, meneladankan, serta membimbing murid-muridnya agar dapat bersikap lebih tepat dan terarah dalam rangka pencapaian cita-cita. Wallahualam

Tidak ada komentar: