“Atmosfer” Sulawesi Selatan
Genderang perang Pilkada Sulsel telah ditabuh, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 14 September 2012, proses pendaftaran Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018 telah dilaksanakan. Tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur, Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu`mang (SAYANG) dan Ilham Arif Sirajuddin-Azis Kahar Mudzakar (IA), Rudiyanto Asapa-Nawir Pasinringi (Garuda-Na) akan saling berhadap-hadapan memperebutkan kursi orang nomor 1 dan nomor 2 di Sulawesi Selatan.
Di hari pendaftaran bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur ke KPU, ada suasananya yang sebenarnya sudah sering kita rasakan, khususnya warga Kota Makassar, tetapi suasana hari itu mungkin sedikit berbeda. Suasana itu adalah suasana kemacetan. Jika selama ini kemacetan adalah pemandangan yang hari-hari kita rasakan. Kali ini, kemacetan ini disebabkan karena penutupan beberapa ruas jalan protokol dalam rangka memperlancar pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur Sulsel.
Terlintas pertanyaan dalam hati saya, dan juga mungkin pada sebagian besar warga yang terjebak dalam kemacetan tersebut.
Apakah suasana kemacetan ini juga dirasakan oleh dua pasang Cagub dan Cawagub yang kelak, salah satu dari pasangan tersebut akan menjadi pemimpin kita di Sulawesi Selatan?. Jawabannya, bisa ia dan bisa tidak. Tapi yang pasti di hari pendaftaran tersebut, mereka tidak merasakan kemacetan sebagaimana sebagian masyarakat Kota Makassar.
Lingkungan Kita Telah Berubah
Ada suasana yang kita rasakan sudah sangat berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun silam. Ini bukan tentang panasnya “atmosfer” politik karena adanya pemilukada. Tetapi ini tentang atmosfer langit kita yang sesungguhnya, khususnya di Sulawesi Selatan, yang terasa begitu panas, akibat suhu lingkungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Bagi mereka, yang hidup di ruangan ber-AC, termasuk para cagub dan cawagub tersebut, mungkin tidak begitu merasakan perubahan ini, tetapi bagi masyarakat umum yang hidup dipinggiran-pinggiran kota, yang hidup di ruang-ruang tak ber-AC, akan merasakan panas yang berkepanjangan. Tidak pagi dan tidak malam, Panas dan suasana gerah terus menemani mereka di setiap pergantian waktu.
Pada tanggal 12 Mei 2011, Laporan Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar merelease hasil pengukuran suhu udara di Makassar dan beberapa kota di Sulawesi Selatan lainnya berada pada kisaran 23-35 derajat celcius. Kondisi ini membuat udara di siang hari maupun malam hari terasa sangat panas dan gerah. Para pembaca juga, tentu saja merasakannya. Dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa suhu udara di Kota Makassar dan beberapa wilayah lain di Sulawesi Selatan tergolong cukup tinggi (kabar-toraja.com).
Sekitar setahun kemudian, pada tanggal 6 September 2012, BMKG wilayah Makassar menyebutkan, suhu udara di Kota Daeng meningkat dibanding bulan yang sama di tahun-tahun sebelumnya. Suhu udara Makassar mencapai temperatur maksimum 34 derajat Celcius. Diperkirakan puncak musim kemarau untuk wilayah Makassar sampai Pinrang tahun ini terjadi Agustus sampai September dengan suhu yang mencapai 33 hingga 34 derajat. Suhu normal biasanya hanya 28-29 derajat. Kondisi ini diperkirakan akan terus berlangsung sampai akhir September, dan hujan tidak ada sama sekali (okezone.com).
BMKG wilayah Makassar melansir suhu udara rata-rata di pesisir barat Sulsel, mulai dari Kota Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Parepare, Sidrap, dan Pinrang berkisar antara 33 dan 34 derajat celsius selama Agustus-September. BMKG memperkirakan, musim kemarau di Makassar-Pinrang terhitung sejak Mei 2012 dan diprediksi baru berakhir pada November 2012. Sementara, puncak musim kemarau terjadi Agustus-September.
Jadi suhu udara di kota Makassar dan Sulawesi Selatan telah mengalami peningkatan, minimal dalam dua tahun terakhir ini. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi kondisi kehidupan dan aktivitas masyarakat Sulsel baik dalam segi produktifitas di bidang pertanian, kesehatan dan lain sebagainya.
Kerusakan Lingkungan, Perubahan Iklim & Kesehatan
Tren peningkatan temperatur udara di bumi, tak terkecuali Sulawesi Selatan, diperkirakan akan terus terjadi di tahun-tahun mendatang. Di antara faktor yang paling berkontribusi terhadap peningkatan suhu bumi adalah terus bertambahnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer tanpa mampu dikendalikan secara maksimal.
Protokol Kyoto menyebutkan ada enam jenis gas rumah kaca, yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), dan tiga gas-gas industri yang mengandung fluor (HFC, PFC, dan SF6).
Emisi CH4 berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, banyak dihasilkan dari sampah yang tidak tertangani secara baik, khususnya sampah–sampah yang ditampung di TPA dengan metode open dumping, dihamparkan begitu saja dilahan TPA secara terbuka. Data yang kami peroleh, menemukan bahwa dari 15 kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Selayar, Bulukumba, Pare-Pare, Luwu Utara, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Makassar menggunakan sistem open dumping. Hanya empat kabupaten/kota saja yang menggunakan sistem Managed anaerobic yaitu Makassar, Selayar, Pangkep dan Wajo. Hal ini pun, dalam pengetahuan penulis masih dianggap belum memenuhi syarat, karena pengelolaan yang belum baik.
Sedangkan untuk CO2, gas ini secara normal selalu ada di udara dan mengalami proses melalui siklus karbon, sehingga kadarnya bisa terus dalam keadaan yang normal dan tidak membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnnya. Akan tetapi, aktivitas manusia dapat menggangu siklus alami CO2, misalnya akibat penggundulan hutan, pembakaran hutan untuk pembukaan lahan pertanian. Sehingga tidak terurai lagi secara alami dan menempati atmosfer langit kita.
Belum lagi kondisi kemacetan kendaraan yang merupakan pemandangan hari-hari yang kita rasakan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan jumlah gas rumah kaca di udara, khususnya CO dan CO2. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jumlah CO dan CO2 yang dilepaskan oleh sebuah kendaraan akan meningkat beberapa kali lipat akibat kemacetan. Belum lagi di tahun–tahun mendatang jumlah kendaraan di kota Makassar dan Sulsel secara umum diprediksi akan terus mengalami peningkatan.
Sedangkan hutan yang merupakan sumber utama penghasil oksigen bagi kehidupan telah mengalami kerusakan yang cukup memprihatinkan. Pada tahun 2005 luas lahan kritis dalam kawasan hutan mencapai 369.955,54 ha (dari 1.928.587 ha total luas hutan lindung), dan diluar kawasan hutan mencapai 312.827,75 ha. Selain itu luas areal hutan bakau juga terus mengalami penurunan, pada tahun 2006 yang tersisa hanya sekitar 9.795 ha dengan kondisi 40,71% rusak berat, 10,22 rusak sedang, dan hanya 15,27% dalam kondisi baik.
Peningkatan kadar GRK di atmosfer akan menyebabkan bumi menjadi seperti sebuah ruangan berkaca, yang tembus cahaya matahari, tetapi panas yang masuk bersama cahaya matahari tidak bisa dipantulkan kembali keluar akibat terhalangi oleh keberadaan gas-gas tersebut di atmosfer langit kita.
Studi tentang perubahan iklim telah banyak dilakukan dan hasilnya memang cukup mengkhawatirkan. Studi yang dipublikasikan oleh jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (2010), mengungkapkan bila skenario terus berlanjut maka diperkirakan kejadian sekitar 50 juta tahun lalu akan terulang. Ketika itu perubahan iklim telah mematikan sejumlah primata.
Efek pemanasan global tentu saja tidak hanya membahayakan primata saja, tetapi termasuk kita juga manusia. Beberapa tren perubahan pola penyakit juga terus ditemukan, seiring dengan terus meningkatnya suhu bumi. Juga, peningkatan suhu bumi, menyebabkan para petani tidak mampu lagi “meramal” kapan musim hujan akan mulai dan kapan musim kemarau akan berakhir sehingga berdampak pada produktifitas pertanian.
Prediksi jumlah emisi gas rumah kaca di Sulawesi Selatan pertahun sejak tahun 2010 – 2020 mendatang (dalam Gg) untuk daerah Selayar, Bulukumba, Pare-Pare, Luwu Utara, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Makassar diperoleh sebagai berikut:
Untuk tahun 2010 jumlah emisi CH4 yang dihasilkan sudah 3,20 Gg CH4 atau setara dengan 67,288.2 Gg CO2. Dan jumlah ini akan mengalami peningkatan di tahun 2020 menjadi sebesar 23,67 Gg CH4 atau setara dengan 497,0752 Gg CO2. Dengan kontribusi gas CH4 paling berasal dari timbunan sampah, utamanya dari TPA dari 15 Kabupaten Kota tersebut di atas. Jika data tersebut baru prakiraan jumlah gas CH4 dan CO2 yang dilepaskan dari sektor sampah. Bagaimana dengan gas rumah kaca lainnya seperti CH4, CO2, N2O, CFC dan sebagainya?
Data di atas baru prakiraan emisi gas rumah kaca dari sektor limbah padat. Kontribusi industri terhadap peningkatan gas rumah kaca juga diperkirakan sangat besar khususnya untuk wilayah Makassar. Baik dari aktivitas pembakaran maupun dari hasil buangan limbah cairnya. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota Makassar, 2008 menyebutkan bahwa jumlah industri yang beroperasi di kota Makassar pada tahun 2004, adalah sekitar 4.288 unit yang terdiri 4.099 unit industri kecil dan 199 unit industri besar.
Jadi bisa dibayangkan, akan seperti apa kondisi atmosfer yang melingkupi langit di Sulsel di tahun-tahun mendatang jika tidak ada kesadaran, khususnya para pengambil kebijakan di Sulsel, untuk memikirikan penanggulangan masalah emisi GRK ini. Wilayah yang kita diami ini di tahun-tahun mendatang, kelak tidak akan terasa nyaman lagi untuk dihuni, karena suhu udara yang terus menerus meningkat.
Meskipun disadari bahwa masalah pemanasan global bukanlah masalah lokal di lingkup Sulawesi Selatan saja, sehingga tidak mungkin bisa diselesaikan hanya dalam lingkup Sulsel. Akan tetapi, diperlukan itikad baik dari Cagub dan Cawagub untuk terus berkontribusi terhadap penataan lingkungan hidup. Karena pasti, kondisi lingkungan akan sangat mempengaruhi kehidupan kita secara keseluruhan, tak terkecuali warga masyarakat di Sulawesi Selatan.
Selain itu, Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 telah menyebutkan bahwa Gubernur harus menyusun Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) dalam rangka menurunkan emisi GRK di masing-masing wilayah provinsi. Sehingga Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berperan sangat penting sekaligus berkewajiban dalam upaya penurunan emisi GRK di daerah. Kedepannya, siapapun gubernur yang akan memimpin Sulsel bersama para Bupati/Walikota, memiliki “kewajiban” untuk merealisasikan agenda-agenda penataan lingkungan hidup khususnya terkait dengan GRK ini.
Politik & Kesehatan
Prof Umar Fachmi Achmadi Ph.D, menyebutkan bahwa memperjuangkan derajat kesehatan masyarakat adalah sebuah kegiatan politik. Karena ketika berbicara tentang keinginan, sebuah cita-cita untuk menuju masyarakat yang memiliki derajat kesehatan yang lebih sehat, hal itu adalah ekspresi dari sebuah ideologi politik.
Dalam kuliah-kuliah yang pernah saya ikuti dijelaskan bahwa, salah satu determinan yang paling menentukan efektifnya program peningkatan derajat kesehatan adalah kebijakan. Penentu kebijakan penataan dan pengelolaan lingkungan dalam lingkup Sulawesi Selatan salah satunya adalah Gubernur.
Kebijakan tentang lingkungan yang merupakan keputusan pengambil kebijakan yang dapat atau memang ditujukan untuk mempengaruhi kondisi lingkungan strategis lainnya adalah salah satu faktor yang sangat berperang dalam upaya menciptakan kondisi yang aman dan sehat bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Kebijakan makro di bidang lingkungan, misalnya penataan sistem pengeloaan sampah di TPA, pencegahan dan penindakan aktivitas penebangan hutan, pengujian emisi kendaraan bermotor dan seterusnya akan mampu mengurangi potensi risiko timbulnya penyakit akibat pencemaran udara oleh adanya emisi GRK.
Kita semua adalah masyarakat Sulawesi Selatan, yang saat ini sedang dihadapkan pada pilihan-pilihan politik, secara khusus menjelang pemilukada Sulsel di awal tahun 2013 mendatang. Keterlibatan kita didalamnya, tentu saja tidak bisa hanya sekadar ikut ramai, kita juga harus bisa memperjuangkan nasib kita sendiri dan nasib kebanyakan orang-orang di sekitar kita. Dalam pesta demokrasi ini, kita wajib melihat visi misi pasangan cagub dan cawagub tersebut. Melihat janji-janji kampanye mereka. Apakah visi misi tersebut memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup atau tidak. Tapi tidak hanya cukup dengan itu, kita juga perlu melihat seberapa realistis program-program tersebut untuk mereka realisasikan. Sekali lagi jika ada!!!
Melalui tulisan ini, saya hanya menyarankan satu hal kepada seluruh warga Sulawesi Selatan, bahwa diantara pertimbangan yang akan kita berikan untuk menentukan siapa yang akan kita pilih dalam pemilukada Gubernur Sulsel awal tahun depan adalah seberapa pedulikah mereka, Pasangan Cagub dan Cawagub tersebut, terhadap kondisi lingkungan hidup khususnya di Sulawesi Selatan.
Selamat mengikuti hiruk pikuk dan panasnya atmosfer politik di pilgub Sulsel periode 2013-2018, tetapi jangan lupa kita hidup dalam atmosfer yang terus bertambah panas.