Senin, 15 Juni 2020

Kesadaran Akan Krisis (2) : NKRI Yang Kehilangan Arah

Reformasi telah berjalan lebih dari 20 tahun. Belum lagi ada perubahan besar yang bisa kita saksikan. Amanat reformasi belum lagi tertunaikan tuntas, tetapi Indonesia kini dihadapkan dengan fakta internalnya yang cukup rumit.

Utang luar negeri yang terus bertambah, pembelahan masyarakat akibat politik/pemilu yang makin besar, persoalan penegakan hukum, kualitas pendidikan yang rendah, belum lagi konflik elit politik yang berterusan, adalah sajian hari-hari yang terus kita saksikan.

Pada saat yang sama, dalam skala global kita juga dihadapkan pada kondisi ekonomi dan politik global yang rumit, terutama dampak dari kontestasi China-Amerika dalam berebut pengaruh dan posisi di level global.

Dalam konteks global itulah, posisi Indonesia pasti akan mendapatkan pengaruh dari kontestasi negara-negara maju itu, terutama China-Amerika.

Dalam perjalanannya, di gelombang pertama sejarah Indonesia, revolusi Industri telah mendorong terjadinya ekspansi negara-negara Eropa, lalu lahirlah kolonialisme, yang menjadi cerita permulaan dari Perang Dunia I.

Politik etis yang dijalankan oleh Belanda terhadap Indonesia di masa itu, telah melahirkan kaum terdidik di kalangan masyarkat Indonesia, lalu dimulailah “era kebangkitan nasional” yang melahirkan gagasan tentang *Indonesia Merdeka*.

Jepang sebagai salah satu kekuatan Asia saat itu, kemudian menggantikan posisi Belanda di Indonesia dalam Perang Dunia II, dan menjadikan Indonesia sebagai “pangkalan militer” terpenting menghadapi Amerika Serikat dalam Perang Pasifik. Kekalahan Jepang, dalam perang ini, setelah Hirosima dan Nagasaki diporak-porandakan oleh nuklir Amerika, telah membuka lebar jalan, bagi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ada kekalahan perang disana, ada celah jalan untuk merdeka.

Peristiwa-peristiwa eksternal telah mendorong perubahan-perubahan besar di Indonesia.

Selalu ada ekses, dari peristiwa-peristiwa global, terhadap kondisi dalam negeri Indonesia.

Saat perang dingin Soviet-Amerika, kita juga mendapatkan pengaruhnya. Kita, bangsa Indonesia mengalami konflik Ideologi, terutama karena pengaruh Soviet sebagai negara sosialis (komunis) dan Amerika sebagai representase negara kapitalis.

Dari perang dingin itu, kita mengalami konflik segitiga: Nasionalisme-Komunisme-Islam.

Itulah sepenggal cerita, bangsa Indonesia di gelombang kedua: *menjadi negara Indonesia modern* dan itulah hari-hari yang kita jalani dalam proses pembentukan konsep negara Indonesia Modern.

Dalam situasi krisis seperti ini, kita membutuhkan faktor pendorong dari dalam, agar kita bisa keluar sebagai negara yang lebih kuat dari celah patahan sejarah yang sangat mungkin ditimbulkan oleh konflik China-Amerika ini.

Harus ada kerja kepemimpinan yang akan memicu lahirnya gelombang kesadaran baru, yang memberikan kita arah menuju pencapaian baru sebagai bangsa modern.

Menunjukkan arah bangsa, dan mengajak seluruh bangsa ini ke sana, adalah tugas kepemimpinan terpeting saat ini.

Sebagaimana dulu, ada gerakan kebangkitan nasional saat Perang Dunia I, dan ada gerakan perjuangan kemerdekaan saat Perang Dunia II. Atau gerakan non blok yang digagas terutama oleh Soekarno dalam periode Perang Dingin yang mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa di Dunia.

Tapi, inilah *krisis kedua*, *setelah krisis pertama (krisis gerakan islam politik)*, yang menjadi kenyataan yang harus kita terima: NKRI kehilangan arah

Kepemimpinan nasional tidak bisa memberikan kita cerita, gagasan, tentang arah yang harus kita tuju bersama di tengah makin kuatnya prediksi potensi terjadinya Perang Dunia III di tahun-tahun mendatang.

Ahad, 14/06/2020
@arifmahmudah
readmore »»ǴǴ

Kesadaran Akan Krisis (1) : Krisis Gerakan Islam Politik

Saya ingin menulis ini, untuk merefleksi kembali perjalanan, dari titik awal saat kita mulai menyadari adanya krisis. Untuk menguatkan kembali orientasi kita, agar tidak goyah, karena perjalanan panjang dan mungkin melelahkan sedang terbentang dihadapan kita.

Kira-kira akhir tahun 2017 yang lalu, ada semacam kegelisahan yang muncul dalam diri saya secara pribadi dan juga teman-teman. Kegelisahaan itu terutama, ketika kita dibentur oleh dua fakta.

Fakta pertama adalah persoalan yang sangat dekat dengan saya secara pribadi, yaitu kegagapan partai islam dalam mensikapi realitas baru tentang negara, setelah dalam jangka waktu yang lama dididik dan hidup dengan nilai-nilai internal, tiba-tiba bertemu dengan realitas lain: *Ketaatan tanpa syarat kepada pimpinan, tiba-tiba hendak digunakan untuk menganulir pencapaian yang kita peroleh melalui mekanisme bernegara, tanpa perlu ada alasan rasional untuk menjelaskan pilihan kebijakan itu*

Apakah aturan organisasi bisa lebih tinggi dari aturan main bernegara?. Itu kira-kira pertanyaan besar yang muncul, diluar persoalan pribadi Fahri Hamzah dengan pimpinan partainya pada tahun 2016 itu.

Fakta pertama ini, melahirkan satu proses refleksi sejarah yang jauh kebelakang dan dari refleksi ini, kita akan menemukan satu fakta bahwa konflik internal partai politik islam di berbagai belahan dunia islam adalah kenyataan yang selalu muncul setiap kali mereka memasuki fase politik dan mulai masuk lebih jauh ke dalam arena kekuasaan.

Cerita ini banyak kita temukan, misalnya konflik Erdogan dan Erbakan yang menyebabkan lahirnya AKP dan Saadet Party di Turki.

Fakta kedua adalah peristiwa yang terjadi tahun 2013, kegagalan kelompok islamis di panggung negara, dalam gelombang kontra arab spring, yang kira-kira puncak peristiwanya adalah jatuhnya Mursi dipanggung kekuasaan.

Peristiwa ini, menguatkan kembali opini tentang relevansi gagasan islam politik, karena pemerintah Mursi hanya bisa bertahan setahun.

Belum lagi fakta-fakta lain tentang kegagalan politik islam di dalam mengelola negara yang telah berlangsung di tahun-tahun sebelumnya. Sebut saja diantaranya En Nahdah, Tunisia; FIS Aljazair, Hamas Palestina, Refah Turki, dan seterusnya.

Fakta kedua ini, melahirkan refleksi lain, bahwa semua literatur politik islam yang kita miliki dan kita warisi, tidak lagi relevan untuk membaca dan menjawab realitas politik kontemporer, termasuk relevansinya untuk membuat kaum islam politik sampai pada capaian politik yang sukses besar.

Dua fakta diatas, telah menghadirkan satu kesadaran yang kuat, bahwa *Gerakan Islam Politik sedang mengalami krisis*. Krisis yang membuat mereka tidak bisa membaca persoalan secara tepat apalagi berpikir untuk menghadirkan solusi atas persoalan itu.

*Krisis Gerakan Islam politik*, terjadi saat mereka belum lagi sukses mengelola negara.

Jumat 12/06/2020
@arifmahmudah
readmore »»ǴǴ