7 Juli 2010
Realitas dunia kampus tak ada bedanya dengan realitas kehidupan dalam skala nasional. Dakwah yang kita lakukan di kampus sesungguhnya sama persis dengan dakwah yang kita lakukan pada skala negara. Komponen objek dakwah yang harus kita urus juga sama. Di sana ada politik, di sana ada realitas sosial, dan di sana juga ada realitas ekonomi. Yang membedakan keduanya hanyalah pada besaran wilayah amal yang harus kita kelola dan kerjakan.
Jika kondisinya demikian, maka Interaksi kita sebagai dai dan organisasi yang membawa misi Islam dengan berbagai lembaga kemahasiswaan adalah satu realitas yang tak bisa dihindari. Termasuk interkasi dengan organ-organ kultur mahasiswa kampus. Organisasi kemahasiswaan dengan berbagai ragam basis ideology yang dimilikinya. Di sana ada Islam. di sana juga ada agama lainnya. Di sana juga ada kelompok nasionalis dan bahkan sekuler.
Nah, ketika kita ingin menguatkan pijakan kaki dakwah di tengah masyarakat kampus. Maka menjadi satu keniscayaan akan adanya interaksi antara harokah dan kadernya dengan beragam pemikiran dan basis ideologi tersebut. Dan keberadaan kita seharusnya dapatlah di terima oleh semua masyarakat kampus. Dan salah satu alasan penerimaan itu sesungguhnya adalah gagasan.
Gagasan yang ingin kita berikan sebagai sebentuk keinginan luhur kepada penataan masyarakat kampus. Tetapi di silah letak masalahnya. Kita dihadapkan pada pertanyaan ini: Bagaimana caranya agar gagasan yang kita berikan dapat diterima oleh banyak kelompok masyarakat kampus dengan ideology yang juga beragam tersebut, tanpa meninggalkan nilai-nilai yang menjadi dasar amal yang kita lakukan. Yaitu Islam.
Gagasan adalah mutiara. Mutiara yang menjadi nilai tawar yang sangat menentukan grade harokah di mata masyarakat kampus. Juga, gagasan dalam dakwah adalah faktor yang mampu mendinamisasi gerak harokah.
Akan tetapi, ketika dakwah memasuki era terbuka, dan terjadi interaksi dengan ragam pemikiran, maka gagasan yang lahir dari harokah dan kader harokah menjadi sangat mungkin telah mendapatkan pengaruh luar, akibat interaksi yang intens dengan realitas masyarakat kampus secara umum maupun melalui dialog antar gerakan, sehingga boleh jadi gagasan menjadi jauh terpinggirkan dari aspek-aspek orisinalitas Islam dan dakwah itu sendiri.
Ada hal yang utama untuk dilakukan di sini. Yaitu bagaimana menjaga orisinalitas gagasan yang kita release pada masyarakat kampus, agar tidak keluar dari bingai ideology yang kita pahami? Jawabannya adalah pemahaman yang mendalam terhadap aspek tsawabit dan mutaghayiirat dalam Islam. Tsawabit dalam agama. itulah yang kita sebut dengan aqidah, syariat, ibadah dan akhlak. Juga aspek tsawabit dalam fikroh. Tentang metode perjuangan dan cara pencapaian cita-cita dakwah. Dan hal lainnya, Yang semuanya tak boleh berubah.
Juga, pengetahuan yang mendalam tentang aspek Islam yang mana saja yang boleh disesuaikan dengan realitas zaman. Inilah yang kita sebut dengan aspek mutaghayiirat. Aspek mutaghayiirat memberikan ruang gerak yang luas bagi harokah untuk mencreate satu model perjuangan tetapi tetap dalam bingkai keislmanan. Jika mutaghayyirat member ruang gerak yang luas, maka tsawabitlah yang menjaga orisinalitas dakwah dan Islam.
Oleh sebab itulah kader harokah harus benar-benar memahami dua aspek ini. Dalam Islam dan juga dalam harokah. Agar dakwah bisa terus mengembangkan sayap selebar-lebarnya tetapi tetap dalam bingkai nilai-nilai Islam yang kita yakini.
Maka dasar pengetahuan yang kuat akan kedua aspek tersebut di atas menjadi sangat penting. Karena di tengah begitu banyaknya subhat kehidupan yang menari-nari di sekitar kita, kita memerlukan satu daya proteksi yang kuat, agar interaksi kita dengan subhat-subhat tersebut tidak mempegaruhi struktur bangunan kepribadian kita dan organisasi kita.
Dan hanyalah orang-orang yang memiliki ke dalam ilmulah yang dapat tetap bertahan dengan identitasnya di tengah subhat-subhat tersebut. “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."
readmore »»วดวด
Realitas dunia kampus tak ada bedanya dengan realitas kehidupan dalam skala nasional. Dakwah yang kita lakukan di kampus sesungguhnya sama persis dengan dakwah yang kita lakukan pada skala negara. Komponen objek dakwah yang harus kita urus juga sama. Di sana ada politik, di sana ada realitas sosial, dan di sana juga ada realitas ekonomi. Yang membedakan keduanya hanyalah pada besaran wilayah amal yang harus kita kelola dan kerjakan.
Jika kondisinya demikian, maka Interaksi kita sebagai dai dan organisasi yang membawa misi Islam dengan berbagai lembaga kemahasiswaan adalah satu realitas yang tak bisa dihindari. Termasuk interkasi dengan organ-organ kultur mahasiswa kampus. Organisasi kemahasiswaan dengan berbagai ragam basis ideology yang dimilikinya. Di sana ada Islam. di sana juga ada agama lainnya. Di sana juga ada kelompok nasionalis dan bahkan sekuler.
Nah, ketika kita ingin menguatkan pijakan kaki dakwah di tengah masyarakat kampus. Maka menjadi satu keniscayaan akan adanya interaksi antara harokah dan kadernya dengan beragam pemikiran dan basis ideologi tersebut. Dan keberadaan kita seharusnya dapatlah di terima oleh semua masyarakat kampus. Dan salah satu alasan penerimaan itu sesungguhnya adalah gagasan.
Gagasan yang ingin kita berikan sebagai sebentuk keinginan luhur kepada penataan masyarakat kampus. Tetapi di silah letak masalahnya. Kita dihadapkan pada pertanyaan ini: Bagaimana caranya agar gagasan yang kita berikan dapat diterima oleh banyak kelompok masyarakat kampus dengan ideology yang juga beragam tersebut, tanpa meninggalkan nilai-nilai yang menjadi dasar amal yang kita lakukan. Yaitu Islam.
Gagasan adalah mutiara. Mutiara yang menjadi nilai tawar yang sangat menentukan grade harokah di mata masyarakat kampus. Juga, gagasan dalam dakwah adalah faktor yang mampu mendinamisasi gerak harokah.
Akan tetapi, ketika dakwah memasuki era terbuka, dan terjadi interaksi dengan ragam pemikiran, maka gagasan yang lahir dari harokah dan kader harokah menjadi sangat mungkin telah mendapatkan pengaruh luar, akibat interaksi yang intens dengan realitas masyarakat kampus secara umum maupun melalui dialog antar gerakan, sehingga boleh jadi gagasan menjadi jauh terpinggirkan dari aspek-aspek orisinalitas Islam dan dakwah itu sendiri.
Ada hal yang utama untuk dilakukan di sini. Yaitu bagaimana menjaga orisinalitas gagasan yang kita release pada masyarakat kampus, agar tidak keluar dari bingai ideology yang kita pahami? Jawabannya adalah pemahaman yang mendalam terhadap aspek tsawabit dan mutaghayiirat dalam Islam. Tsawabit dalam agama. itulah yang kita sebut dengan aqidah, syariat, ibadah dan akhlak. Juga aspek tsawabit dalam fikroh. Tentang metode perjuangan dan cara pencapaian cita-cita dakwah. Dan hal lainnya, Yang semuanya tak boleh berubah.
Juga, pengetahuan yang mendalam tentang aspek Islam yang mana saja yang boleh disesuaikan dengan realitas zaman. Inilah yang kita sebut dengan aspek mutaghayiirat. Aspek mutaghayiirat memberikan ruang gerak yang luas bagi harokah untuk mencreate satu model perjuangan tetapi tetap dalam bingkai keislmanan. Jika mutaghayyirat member ruang gerak yang luas, maka tsawabitlah yang menjaga orisinalitas dakwah dan Islam.
Oleh sebab itulah kader harokah harus benar-benar memahami dua aspek ini. Dalam Islam dan juga dalam harokah. Agar dakwah bisa terus mengembangkan sayap selebar-lebarnya tetapi tetap dalam bingkai nilai-nilai Islam yang kita yakini.
Maka dasar pengetahuan yang kuat akan kedua aspek tersebut di atas menjadi sangat penting. Karena di tengah begitu banyaknya subhat kehidupan yang menari-nari di sekitar kita, kita memerlukan satu daya proteksi yang kuat, agar interaksi kita dengan subhat-subhat tersebut tidak mempegaruhi struktur bangunan kepribadian kita dan organisasi kita.
Dan hanyalah orang-orang yang memiliki ke dalam ilmulah yang dapat tetap bertahan dengan identitasnya di tengah subhat-subhat tersebut. “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."