Makassar, 6 oktober 2009
Oleh Arif Atul M Dullah
“ Saat ini kalian belum berjalan pada jalan dakwah sesungguhnya, kelak ketika mereka mulai memahami dakwah kalian pasti mereka akan melakukan semua upaya untuk memusuhi kalian, di saat itulah kalian mulai melalui jalan dakwah sesungguhnya {Hasan Al Banna}”
Merefeleksi Sirah dan mempelajari Fiqh Siroh akan memberikan gambaran yang begitu jelas bagi kita tentang tabiat dakwah dan tahapan-tahapannya. Begitu banyak nilai, begitu banyak pelajaran yang harusnya bisa kita jadikan pelajaran khususnya bagi mereka-mereka yang meniti jalan dakwah dan hidup untuknya.
Ada fenomena yang kontradiktif kita temukan disebagian kalangan aktifis dakwah. Ada sebuah ketidak nyambungan antara idealisme dan cita-cita yang sedang ingin mereka bangun dengan sarana yang untuk mencapai tujuan mulia itu. Ada sebuah sikap “gagap” ketika ingin agar semua manusia menjadikan islam sebagai literatur hukum yang mengatur keseluruhan hidup mereka.
Mereka ingin mewujudkan tegaknya aturan-aturan Allah dimuka bumi, tapi mereka hanya mengatakan dengan dakwah saja, menyeru manusia untuk tunduk kepada syariat Allah swt. Ini adalah sebuah kegamangan cita-cita. Luhur memang cita-citanya. Tapi idealisme seperti ini hanyalah sebuah idealisme yang dibangun diatas dasar kepasrahan tanpa kemampuan mendefenisikan cita-cita itu.
Sirah nabawiah adalah sumber pelajaran besar yang mampu memberikan gambaran bagaimana sebuah cita-cita seperti itu harusnya diwujudkan.
Kalau kita membuka sirah nabawiah dan memahaminya dengan detil maka kita akan menemukan sebuah desain perencanaan dan strategi dakwah Rasulullah saw untuk melakukan sebuah transformasi dakwah menjadi sebuah institusi untuk menjamin kelangsungan dakwah ketika tekanan-tekanan Quraisy berupa pengusiran dan bahkan ancaman pembunuhan kepada para Sahabat dan Rasulullah SAW terjadi.
Kita tahu bahwa sekitar tahun kesepuluh kenabian, 2 pelindung utama Rasulullah wafat. Khadijah r.a dan paman beliau SAW, Abu Thalib. Acaman penyiksaan dan pembunuhan terus mengintai para Sahabat. Sampai kita tahu dalam tahun-tahun menjelang hijrah ini, tertumpahlah darah syahidah pertama Islam, yaitu Ibu Amr bin Yasir.
Karena saat itu aktivitas harakah sudah mulai terancam, maka sebuah upaya ekspansi dakwah harus sudah mulai dipikirkan, untuk membangun basis baru, komunitas islam di luar Mekkah. Lalu kondisi ini mendapatkan momentum terbaiknya dengan masuknya 6 orang tokoh Khazraj untuk menyebarkan Islam kepada kaum mereka. Dan momentum ini seperti yang di catat oleh syaikh Muhammad Munir Al Gadbhan, dalam Sirah Nabawiyah menjadikan islam itu ada pada setiap rumah di Madinah. Tidak ada satupun rumah di Madinah kecuali di dalamnya di bicarakan tentang Islam dan Rasululllah. Inilah awal proses transformasi islam menjadi sebuah Negara.
Maka, sebuah cita-cita besar yang saat ini sedang kita bangun dan kita rasakan hari ini tanpa tekanan, tanpa ancaman pembunuhan, kelak akan melalui dan merasakan tabiat jalan ini. Sehingga cita-cita yang sedang dibangun dan tumbuh ini, juga harus dipahami bahwa tidak selamanya kondusif akan terus berjalan seperti hari ini.
Memang karena baru tumbuh, maka orang-orang yang tidak pernah mau melihat islam ini tumbuh besar belum merasa keberadaan kita hari ini mengancam kepentingan-kepentingan mereka sehingga relative bersahabat dengan kita. Aktivis yang merasa bahwa dakwah sudah cukup dengan teriakan ceramah tanpa memikirkan untuk menciptakan ruang yang aman untuk berdakwah, sangat mungkin dakwah yang mereka bangun tidak akan tumbuh menjadi besar. Dan seandainya pun tumbuh besar, maka mereka akan segera mendapatkan ancaman pembumihangusan dari musuh-musuhnya.
Jadi membangun idealismE itu tidak pernah bisa hanya dengan ide “mengajak” orang berislam dengan baik tanpa pernah memikirkan untuk menjadikan dakwah sebagai sebuah legalitas. Dan legalitas ini hanya bisa dilakukan ketika kita menjadikan diri harakah itu sebagai harakah legal-formal.