Kamis, 03 Februari 2011

Ikhlas



Rabu, 18 Agustus 2010
Pukul 09.30 WITA

Ikhlas. Hanyalah sebuah kata sederhana, tapi nilai setiap amal yang dilakukan oleh seorang hamba dihadapan Allah SWT sangat ditentukan seberapa besar kadar keikhlasan di dalamnya. Tapi di sini kita tidak akan berbicara teori-teori tentang keikhlasan.

Inilah sebagian dari sejarah keikhlasan yang disaksikan oleh napas alam semeseta. Tetang satu kisah pada tahun ke-10 kenabian, saat Sang Rasul ditinggalkan dua orang pelindung terbaiknya. Abu Thalib, pamannya dan Khadijah, istri beliau. Karena keduanya telah dipanggil oleh Allah SWT. Dan ini artinya, awal dimulainya satu tekanan yang sangat berat oleh orang-orang Quraisy terhadap dakwah beliau.

Setelah mengalami tekanan yang sangat berat dari kaum kafir Quraisy, Sang Rasul menuju ke satu kota, itulah kota Thoif. Satu tempat dakwah baru. Di sanalah, Sang Rasul mengharapkan adanya satu tempat aman bagi penumbuhan dakwah islam. Dalam perjalanannya ke Thoif, Sang Rasul ditemani oleh didikannya, Zaid Bin Haritsa.

Dalam perjalanannya ke Thoif, Sang Rasul melakukan dakwah dan menyeru setiap kabilah yang ditemuinya di sepanjang perjalannya. Akan tetapi tak satu pun yang merespon dakwah Sang Rasul. Meskipun dengan berbagai cara dan pendekatan yang telah dilakukannya. Selama 10 hari perjalannya, Dan tidak ada pemuka dan tokoh-tokoh yang tidak didatangi oleh beliau. Tapi tidak ada satupun yang menyambut seruan sang Rasul.

Puncak penolakan itulah direspon lebih jauh. Bahwa tokoh-tokoh masyarakat Thoif dengan kemuliaan kedudukannya, dan Sang Rasul dengan kemuliaannya. Mereka tahu bahwa dengan kemuliaan yang mereka miliki tidak pantas memperlakukan orang mulia ini dengan kasar. Lalu memerintahkan budak-budak mereka untuk melempari Sang Rasul dan sang murid, Zaid bin Haritsa sampai keluar dari kota Thoif. Dan dalam riwayat dijelaskan bahwa tubuh sang Rasul sampai bercucuran darah, dan Zaid bin Haritsa tidak berhenti melindungi Sang Rasul dari lemparan batu sampai mereka berhasil keluar dari kota Thoif.

Di kisah ini ada tugas dakwah. Di kisah ini ada murobbi. Di kisah ini ada mutarabbi. Dan di situ ada pemahaman qiyadah wal jundiyah yang semuanya menyatu menjadi sebuah kesatuan dalam sejarah dakwah Sang Rasul menyebarkan islam di Kota Thoif.

Jadi kalau kita berbicara tentang keikhlasan, maka kita akan bertanya: Zain bin Haritsa akan mendapatkan apa, dan apakah ada jaminan bahwa dia bisa aman dari lemparan batu-batu itu? Dia tahu risikonya. Tapi dia tidak berhenti melindungi Rasulullah. Meskipun Sang Rasul tetap terkena.

Baik murobbi maupun mutarobbi, menghadapi medan dakwah yang sedemikian beratnya. Mereka tidak mempermasalahkan beratnya tanggung jawab dakwah itu. Tapi yang mereka persoalkan adalah jangan-jangan pilihannya lari, menjauhi dari lemparan batu itu salah. Justru Sang Rasul sebagai murobbi, sebagai qiyadah dan Zaid bin Haritsa sebagai mutarobbi, sebagai jundi. Zaid merasa, jangan-jangan perlindungan yang diberikannya kepada qiyadah, kepada Sang Rasul itu tidak cukup.

Jadi mereka tidak mempersoalkan luka yang dideritanya, kesulitan yang dihadapinya, tantangan yang menjadi lawannya. Tapi yang mereka permasalahkan adalah apakah sudah cukup usaha mereka untuk menunjukan ketaatannya kepada tanggung jawab dakwah yang dipikulnya. Sehingga begitu sampai di perkebunan kurma, Sang Rasul menengadahkan tangan. Dan memohonkan satu doa:

“Ya Allah, kepadamu saya keluhkan lemahnya kekuatanku, lemahnya strategi yang saya buat, ketidakmampuan saya menunjukkan izzah dihadapan manusia, Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkau adalah Tuhannya orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Tuhan saya. Kepada siapapun Engkau akan perhadapkan saya. Kepada pihak yang akan menghinakan saya. Atau kepada orang yang telah engkau serahkan urusanku kepadanya. Dia mau memperlakukan saya sekehendaknya. Saya tidak peduli. Selama engkau tidak murka kepadaku ya Allah. Saya tidak peduli”

Jadi yang dikhawatirkan Sang Rasul dalam menghadapi beban dakwah adalah jangan-jangan pilihan-pilihan strateginya itu salah dan justru mendatangkan kemurkaan dari Allah SWT. Dari sini kita memahami bahwa doa ini, tidak mungkin keluar dari lidah-lidah manusia kecuali didasari oleh sebuah praktek keikhlasan yang keluar dari kerangka-kerangka teori kebahasaan.

Jadi jaminan untuk memelihara keikhlasan itu dari diri kita, maka kita perlu membaca siroh, sejarah orang-orang yang telah mempraktekkan keikhlasan dalam hidup mereka. Sehingga kita tidak akan menghabiskan waktu kita untuk berkelakar dengan teori-teori kebahasaan tentang apa itu ikhlas.

Oleh sebab itu, tidak pantas kalimat-kalimat ikhlas itu lebih banyak keluar dari lisan para murobbi. Tetapi ikhlas harus lebih banyak terlihat dari sikap dan tingkah laku para murobbi. Ikhlas bukan kalimat indah untuk diperdengarkan dan dilekuk-lekukkan nilai seninya. Tapi ikhlas adalah rekomendasi yang harus segera menjelma menjadi sikap.

Tugas-tugas dakwah ini mendidik kita dalam waktu yang panjang untuk tidak menakar diri kita pada gelar-gelar yang kita peroleh di sepanjang perjalanan dakwah ini. Dan keikhlasan ini, akan teruji pada pengambilan peran-peran dakwah secara berkesinambungan.

Itulah sejarah keikhlasan. Dan kita ingin memulai menguji ikhlas itu pada diri kita dengan kerja-kerja tanpa henti. Adapun balasan, itu hanyalah sesuatu yang kita harapkan datangnya dari Allah SWT, jika ia datang dari manusia. Maka itulah makna “sebagian dari janji Allah yang disegerakan bagi seorang hamba-Nya di dunia”.
readmore »»วดวด