Selasa, 20 Maret 2012

Respon Perubahan (Refleksi Badar)


Senin, 19 Maret 2012
Pukul 17.15 WITA

Di mendung sore ini, ku terkenang peristiwa Badar, dengan apa yang sedang terjadi saat ini, pada perputaran roda organisasi, dan momentum - momentum perubahan yang berlaku atasnya #PerangBadar

Tiga tahun setelah Sang Nabi, mengkonsolidasi kaum muslim, dalam kehidupan mereka yang baru, di Madinah. Tepatnya bulan Ramadhan, keluarlah 300-an orang kaum muslimin menuju Badar #PerangBadar

Tujuan mereka ad menghadang kafilah dagang Abu Sofyan, dlm rangka pembalasan, terhadap sikap Quraisy yang merampas harta kaum muslimin di Makkah. Mereka, hanya membawa perlengkapan seadanya, bukan untuk perang #PerangBadar

Ternyata informasi tentang rencana kaum muslimin, yang dipimpin Sang Rasul ini, sampai ketelinga Abu Sofyan. Maka kafilah ini, mengalihkan jalan pulang. Lalu mengirim utusan ke Makkah, untuk mengirimkan pasukan guna menghadang kaum muslimin #PerangBadar

Maksud hati menghadang Abu Sofyan, Kaum muslimin yang tidak membawa perlengkapan perang apapun, tiba-tiba dihadang oleh 1000-an pasukan Quraisy lengkap dengan senjata perang #PerangBadar

Perang Badar ad awal dari semua pertempuran fisik yang dihadapi kaum muslimin. Tapi peristiwa ini hadir tanpa diketahui sebelumnya. Bahkan oleh Sang Rasul sendiri pun. Ini peristiwa yang benar2 rumit #PerangBadar

Di tengah kondisi yang demikian. Di tengah perubahan yang begitu tiba-tiba, perhatikanlah bagaimana sikap para sahabat dan kalimat-kalimat yang keluar dari lisan mereka? Mari kita belajar...#PerangBadar

Al Miqdad bin Amru mengatakan ini kepada Sang Rasul: “Demi Allah yang mengutus Anda membawa kebenaran, seandainya Anda mengajak kami ke Barkul Ghimad pasti kami mengikutimu sampai di sana”. #PerangBadar

Juga kalimat, Sa`d bin Mu`adz kepada sang Nabi: “kami telah beriman kepada Anda, dan kami bersaksi bahwa apa yang anda bawa adalah benar. Demi Allah seandainya Anda menghadapi lautan dan anda terjun kedalamnya, maka kami juga akan terjun bersama Anda #PerangBadar.

Anda bisa membayangkan kalimat Mu`adz di atas begini. Ada sekelompok pasukan, yang orang-orang didalamnya sejak lahir hidup di padang pasir yang tandus dan kering, tiba-tiba, mereka mengatakan, kami siap untuk terjun ke dalam lautan #PerangBadar

Apa yang mereka pikirkan tentang laut, mungkin hanya seperti itu, untuk suatu tempat yang sebenarnya tidak pernah mereka bayangkan apa yang ada di dalamnya. Tapi Ini adalah kalimat keyakinan. Keyakinan yang kokoh, tentang kebenaran pilihan yang telah mereka tetapkan #PerangBadar.

Jadi, ketika momentum – momentum perubahan itu datang, yang mereka lakukan pertama kali adalah mengokohkan keyakinan, untuk maju menerjang badai. #PerangBadar

Kita semua, saat ini, hidup dalam sebuah zaman, dimana target-target itu telah ditetapkan lebih besar. Dan dalam rangka realisasinya itu, kita telah menetapkan langkah-langkah yang dalam yakin kita, itulah cara yang paling efektif merealisasikan cita2 #PerangBadar

Ada satu keadaan yang tiba-tiba berubah. Dan kita juga tiba-tiba dihadapkan pada cara kerja yang tak biasa kita hadapi. Yang harus kita lakukan setelah itu semua adalah memantapkan keyakinan kita. Mengokohkan keimananan kita lalu bekerja dalam koridor yang telah ditetapkan. Ini yang kedua yang harus lakukan#PerangBadar

Setelah itu, mari kita bekerja, beramal, percayalah, selama keyakinan kepada Allah itu teguh, Dia takkan membiarkanmu sendiri tanpa pertolongan-Nya. Maka, ketika Perang Badar pecah, Bumi bekerja membantu dengan hujan. Lalu, Langit bergejolak, para malaikat turun tangan membantu #PerangBadar

Dan anda bisa menemukan di sejarah ini, Seorang Gembong Penjahat besar, sebesar Abu Jahal, Yang memimpin pasukan Quraisy itu, ternyata terbunuh hanya oleh dua orang anak muda, di usia mereka yang masih belasan. Muadz bin Amru dan Mu`awwadz bin Afra. Ini hal ketiga yang mereka lakukan. Merealisasikan keyakinan itu dengan kinerja. Dengan karya #PerangBadar

Memang dalam kisah Badar, kesejatian iman diuji, kekuatan orientasi dan makna ikhlas ditakar, dan dalam peristiwa-peristiwa seperti inilah, banyak orang yang akhirnya tidak mampu bertahan, kecuali mereka yang benar-benar jujur dalam imannya #PerangBadar

Jadi Saya hanya ingin bilang, kita punya referensi sejarah, kita punya sumber ajaran yang abadi. Maka selayaknya sikap2 kita dalam memaknai setiap perubahan, semoga bisa sejalan dengan sikap-sikap mereka, generasi awal islam ini #PerangBadar

readmore »»ǴǴ

Minggu, 18 Maret 2012

Laisa Minna


Jumat, 16 Maret 2012
Pukul 16.37 WiTA

Laju marahalah dakwah kini terus bergulir dan senantiasa menghadirkan harapan. Bahwa kesinambungan kinerja generasi awal yang merintis dakwah ini, akan terus berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah digariskan. Hal ini adalah satu kesyukuran, terlebih lagi, karena kita adalah bagian dari orang-orang yang _mudah-mudah_ membesarkan dan besar bersama dakwah ini, hingga dakwah ini merealisasikan tujuan besarnya sebagai guru bagi seluruh manusia.

Tapi di sana sini masih banyak kekurangan yang harus terus kita perbaiki. Kekurangan itu bukanlah suatu alasan yang membuat kita menahan laju gerak dakwah, tapi sambil jalan, kekurangan-kekurangan itu senantiasa kita perbaiki. Itulah salah satu makna, taubat

Karena taubat itu, juga bisa bermakna, evaluasi segala kekuarangan yang mungkin terjadi dalam amal dan semua langkah-langkah yang kita lakukan, bukan hanya taubat dalam makna memohon ampun.

Perluasan marahalah dakwah, juga bermakna pada besarnya jumlah kader, luasnya struktur, dan juga besarnya komunitas masyarakat yang harus dikelola. Dan kondisi ini akan menghadapkan kita pada satu masalah : bagaimana melakukan pengendalian?. Terlebih ketika marahalah dakwah ini menuntut kita untuk terus bergerak dan melakukan proses infiltrasi ke berbagai lembaga, dan elemen masyarakat, dengan harapan bahwa perubahan yang kita cita-citakan.

Menjawab pertanyaan ini, sebenarnya ada beberapa instrument yang bisa kita gunakan, salah satu yang paling kita kenal adalah melalui proses tarbiyah yang kita lakukan rutin setiap pekan, melalui bimbingan tangan-tangan dingin para pendidik.

Sebagai bagian dari lingkaran organisasi dakwah ini, kita tentunya memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan yang lainnya, untuk terus – menerus berkontribusi untuk mengantarkan dakwah ini, sampai kepada cita-citanya. Akan tetapi, kita semuanya akan dihadapkan pada tantangan, dan pertanyaan, apakah kontribusi itu, dan semua amal-amal yang kita lakukan di medan amal yang heterogen itu, berorientasi sama, kepada pencapaian tujuan dakwah itu sendiri.

Ada satu kaidah, yang kira-kira bisa menjelaskan makna, pengendalian, ketika secara struktural kita telah begitu luas dan kemungkinan akan kesulitan dalam berkoordinasi. Kaidah itu, adalah “kam fina walisa minna wakam minna walaisa fina” (ada banyak orang yang bersama-sama dengan kita, tapi ia tak bersama kita, dan ada banyak orang yang tidak bersama-sama kita, tapi sesungguhnya ia bersama-sama kita)”.

Tadi siang saya bertemu dengan seorang ikhwa, dan ia memperlihatkan saya sebuah halaman Koran, disitu terlihat berita positif tentang jamaah, kata si ikhwa, ini request kami kepada pimpinan redaksi Koran ini. Yach, mungkin memang si pimpred ini bukan kader, ia tak berhalaqah setiap pekannya dengan kita, tapi boleh jadi, orang seperti dia inilah yang dimaksudkan dengan ”…..orang yang tidak bersama dengan kita tapi sesungguhnya ia bersama dengan kita”.

Dalam makna inilah, alm. KH. Rahmat Abdullah, ketika mendefenisikan makna kaidah tersebut dengan mengatakan seperti berikut ini.
Ada orang, yang karena kesadaran keislamannya yang kuat, ia mampu menuntaskan tilawahnya, khatam dalam sekali sebulan. Dia juga, melaksanakan hak-hak orang dengan baik, tanpa ada yang kurang. Ia berpuasa rutin senin kamis. Qiyamul lail nya sangat rajin, dan dia juga rajin membangun silaturahim dengan tentangganya, menunaikan hak-hak dan kewajibannya sebagai anak. Dan seterusnya.

Orang seperti dia ini, meskipun ia membantah dengan keras, bahwa dia bukan bagian dari kita, bahkan dengan mati-matian ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah bagian dari para aktivis tarbiyah, sesungguhnya dia adalah bagian dari kita. Seandainya, dia memiliki kesadaran dan kegelisahan yang sama dengan mereka yang duduk dalam halaqah tarbiyah itu setiap pekannya. Jadi, kata beliau lagi “kekitaan” kita dalam kaidah itu, bukan karena adanya nama kita dalam daftar binaan seorang ustadz/ah, dan juga kita hadir dalam aktivitas pekanan itu, tapi “kekitaan” kita adalah karena kesiapan kita untuk memikul tanggung jawab dakwah ini lebih banyak dari yang lain.

Maka secara khusus, ketika Ust. Abdul Hamid Al Ghazali, menjelaskan tentang Pilar - Pilar kebangkian Umat” beliau menyebutkan bahwa, dari dua belas pilar kebangkitan, salah satu yang harus diingat dan tak boleh dilupakan oleh para penggiat kebangkitan adalah “FIKROH DAKWAH”.

Dalam konteks ini, Imam Hasan Al Banna, mengatakan: “…ketika Allah menurunkan Al Quran, menyuruh hamba-hamba-Nya mengikuti Muhammad SAW, dan meridhoi Islam sebagai agama bagi mereka, sesungguhnya Dia telah meletakkan –dalam agama ini- seluruh dasar yang mutlak dibutuhkan

Kalimat diatas adalah penjelasan tentang perlunya kesadaran dan pemahaman yang kuat dari para kader, para dai, para penyeru kebenaran tentang hakekat keislaman sebelum mereka bekerja. Dan bukanlah suatu yang tanpa pertimbangan yang mendalam ketika beliau memposisikan Al Fahm sebagai awal dari 10 karakter dasar para pemikul beban kebangkitan umat, dalam Al Arkan Al Baiah.

Jadi, menurut saya, proses pengendalian kita yang paling utama dalam makna ini adalah kesadaran tentang visi, dan kemampuan kita untuk menjelaskan bahwa setiap kerja-kerja yang kita lakukan, baik dalam kerja-kerja internal kita maupun kerja eksternal kita haruslah memiliki sumbangsih yang jelas bagi realisasi cita-cita dakwah.

Ketika memang, kita tak punya cukup banyak waktu untuk saling berkoordinasi. Maka yang mengendalikan kita adalah koridor visi, koridor kesadaran bahwa kerja-kerja kita dalam hidup mengarah pada satu titik yang sama. maka seharusnya proses pengendalian bias efektif melalui pewarisan fikroh dakwah ini dalam halaqah-halaqah pekanan itu. Dan itu juga berarti, kapasitas para pendidik harus benar-benar memadai. Memahami zaman dimana mereka hidup, agar dapat mengarahkan, meneladankan, serta membimbing murid-muridnya agar dapat bersikap lebih tepat dan terarah dalam rangka pencapaian cita-cita. Wallahualam

readmore »»ǴǴ