Makassar
Rabu, 4 Oktober 2012
Tema ini, saya tulis dari perenungan akan fakta – fakta yang saya amati di lingkungan. Meskipun tidak dominan, tetapi kasus-kasusnya cukup sering kita temui. Ini adalah pandangan saya, yang terlalu subjektif dan mungkin tak akan disetujui oleh banyak orang, terutama yang sudah berumah tangga. Ini hanyalah pandangan ideal, dari saya, sebagai kacamata pandang akan kedudukan rumah tangga terhadap dakwah, dimana salah satu determinan yang menentukan sinergitas keduanya adalah penghasilan.
Beberapa pekan lalu waktu ke Jakarta, sekitar pertengahan bulan September, saya singgah di salah satu tempat seorang ikhwa. Ada sebuah diskusi singkat dengan dia, ketika saya menyentilnya dengan pertanyaan: “eh, kapan ente nikah, teman-teman kita di organisasi, tahun-tahun lalu sudah punya istri dan sebagiannya sudah punya anak?”
Tapi ada jawaban yang menarik dari dia : “kadang – kadang rumah tangga itu, menjadi penghambat bagi kita untuk mengembangkan diri, karena beberapa kasus, setelah berumah tangga, kita disibukkan dengan urusan mencari uang, sehingga lupa atau terpaksa lupa untuk mengembangkan diri”
Menurut saya, jawaban di atas terlalu subjektif memang, dan mungkin cara pandangnya terlalu pesimistis. Dan tidak bisa menjadi alasan untuk tidak menikah. Tapi pada sebagiannya, pernyataan tersebut juga mengandung kebenaran. Minimal dari dua tiga kasus yang saya temukan dari pengalaman pribadi, dan pengamatan terhadap orang-orang di lingkungan saya berada (pastinya bukan anda yang sedang membaca tulisan ini).
Ini adalah tulisan kedua saya dalam tema tentang persiapan menuju pernikahan. Setelah saya menulis beberapa waktu lalu tentang visi rumah tangga (baca disini (kalau mau, heheh : http://arifatul-daily.blogspot.com/2010/12/presepsi-menuju-tangga-kedua-perjalanan.html ).
Saya tidak sedang bermaksud menakuti-nakuti anda yang ingin menikah. Tapi menurut saya tiga kosa kata ini, Penghasilan, Rumah Tangga dan Dakwah, hubungan ketiganya adalah salah satu konsep yang harus tuntas dalam pemahaman saya sebelum memasuki jenjang rumah tangga.
Dakwah, sebagaimana yang saya pahami adalah pekerjaan sepanjang usia sebagai muslim. Hal Itu (mudah-mudahan) telah saya pahami dengan baik. Saya juga tahu bahwa konteks dakwah yang kita serukan ini adalah pada semua sisi dan di semua level kehidupan. Tetapi saya juga menyepakati pendapat, bahwa perjalan dakwah itu adalah perjalanan yang beban – bebannya terus bertambah dan tidak berkurang. Jika berkurang, kita perlu curiga, boleh jadi itulah cara Allah menyingkirkan kita dari jalan dakwah ini secara perlahan (boleh dibaca di: http://arifatul-daily.blogspot.com/2011/05/akumulasi-beban.html )
Rumah tangga adalah bagian dari tangga peradaban yang harus saya tempuh, tetapi boleh jadi, rumah tangga akan menjadi salah satu tangga ujian yang akan menjadi batu sandungan saya dalam dakwah. Tetapi hal ini harus saya lampaui dalam perjalanan dakwah sebagai kader umat, sebagai kader agama ini. Dan sebelum saya melampauinya di alam nyata, saya perlu melampauinya terlebih dahulu dalam pemahaman saya.
Tema ini mungkin lost dalam pemahaman saya (saya tidak sedang menyalahkan), karena kurangnya pembahasan tentang uang dan penghasilan selama masa-masa pendidikan dan pembentukan diri selama kuliah dan tarbiyah.
Tetapi dalam tema inilah, Allah memberikan peringatan, tentang ujian yang mungkin menimpa para mujahid dengan mengatakan:
“Jika bapak - bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”
Kalimat di atas adalah peringatan yang disampaikan oleh Allah SWT, tetapi semuanya memiliki keterkaitan erat dengan kata ini “rumah tangga”.
Ada saja aktivis dakwah, dengan modal semangat dan prasangka baik mereka kepada Allah SWT, bahwa masalah rezeki (baca: penghasilan) itu sudah ditentukan langit, jadi tidak perlu memiliki kekhawatiran yang berlebihan, untuk segera berumah tangga.
Menurut saya itu benar, dan tidak ada salahnya. Sekali lagi, sama sekali tidak ada salahnya. Tetapi setelah coba saya ingat-ingat (sembari berusaha memprasangkai yang baik-baik untuk mereka yang telah menikah). Mungkin ada yang berubah atau akan berubah setelah saya menikah nanti.
Inilah di antara faktor (padangan subjektif saya) yang berpotensi mengurangi intensitas saya menuntaskan amanah dakwah. Firman tersebut tidak kontradiktif sama sekali dengan apa yang saya pahami dalam kehidupan Rasulullah. Ketika beliau menikah, mahar yang diberikannya kepada Khadijah, adalah 100 ekor unta, kalau perekornya Rp. 10.000.000 artinya mahar Rasulullah kepada Khadijah adalah sekitar 1 milyar. Kita mungkin tak bisa menyamainya, termasuk (hampir pasti) saya. Heheh. Tetapi itulah fakta kehidupan Rasulullah.
Maka dalam konteks inilah, saya menyetujui salah satu pendapat yang menyebutkan, bahwa, minimal, jika belum berpenghasilan, kita sudah harus memahami tentang bagaimana caranya menghasilkan uang ketika telah menikah.
Dua tiga kasus yang saya temukan, ada saja amanah yang (nampak dalam pandangan saya) berkurang setelah kita memasuki jenjang rumah tangga ini. Di antara faktor penyebabnya adalah “kesibukan” mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Saya tidak sedang ingin mengatakan bahwa penghasilan untuk keluarga itu adalah hal yang terpisah dari dakwah. Sama sekali tidak, justru hal ini adalah bagian yang integral dalam pemahaman kita tentang “syumuliatul islam” itu sendiri. Sehingga jangan dipisah-pisah. Dan penghasilan adalah bagian dari “pekerjaan“ dakwah saya kepada keluarga kelak.
Tetapi saya ingin meluaskan pemahaman tentang penghasilan ini dalam konteks “penghasilan yang cukup”. Cukup yang saya maksud adalah bahwa sebelum menikah, sudah punya penghasilan atau tahu bagaimana memenuhinya setelah menikah, yang bisa meyakinkan diri saya sendiri bahwa, amanah-amanah dakwah yang sebelum saya menikah, tidak akan berkurang setelah menikah oleh karena potensi masalah penghasilan ini.
Dan mengertilah saya, mengapa Imam Hasan Al Banna menyebutkan, bahwa diantara karakter yang harus dimiliki seorang aktivis dakwah adalah bahwa dia (harus) berpenghasilan. Mungkin itulah alasannya. Karena penghasilan bisa berpotensi menjadi “penghambat” saya dalam dakwah
Tulisan ini, lebih ditujukan kepada diri saya pribadi, juga sekaligus merupakan sebagian penjelasan tentang “keterlambatan” saya memenuhi jenjang yang kedua dari tahapan-tahapan kita dalam. Tetapi mudah-mudahan dipenghujung tahun ini, itu semua sudah selesai saya realisasikan (mohon doanya ye).
Buat ente-ente yang belum menikah, menikahlah, ini adalah pendapat saya pribadi. Untuk konsumsi pribadi….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar