Makassar, 5 November 2012
Saya mau sharing, tentang bagaimana sebenarnya suatu perilaku itu terbentuk dalam diri kita. Mendidik bukanlah sekedar pekerjaan mentransfer pengetahuan kepada anak didik. Tapi output akhir dari pekerjaan mendidik itu adalah terbentuknya satu perilaku baru yang baik, yang diinginkan oleh Islam
Pertemuan-pertemuan yang kita agendakan dengan peserta didik setiap pekannya, harusnya membentuk 3 hal sekaligus pada diri mereka, Pertama menanamkan padanya nilai-nilai baru melalui materi/pengetahuan baru yang kita sampaikan padanya, kemudian terbentuklah satu sikap yang baru, dan akhirnya terbentuk satu perilaku yang baru, atau mempertahankan nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang baik yang memang sudah ada pada dirinya.
Bagaimana hal-ha tersebut di atas saling berinteraksi dalam rutinitas pekanan itu, atau dalam pertemuan-pertemuan kita dengan anak didik?
Ada empat kosa kata yang akan saya coba kemukakan dalam tema ini. Mudah-mudahan dari sini kita bisa menemukan penjelasannya. Kosa kata itu adalah pengetahuan; keyakinan; sikap; dan perilaku.
Saya pernah menonton satu potongan film.
Disitu dikisahkan, ada seorang pemain football yang ditantang oleh pelatihnya untuk melampaui satu garis finish sambil memikul salah satu temannya. Tapi sang pemain tidak mau, karena dia khawatir tidak dapat melampaui tantangan itu. Setelah agak dipaksa oleh sang pelatih, pemain itu akhirnya mau memenuhi tantangan itu. Sang pelatih mensyaratkan agar pemain tsb menutup matanya dengan kain.
Lalu, sambil menempatkan salah seorang temannya dibelakang punggungnya ia berjalan merangkak menuju garis finish. Bahkan melampaui targetnya. Di sepanjang perjalanan, sang pelatih terus menerus memberikan motivasi, sampai akhirnya si pemain melampaui garis finisih,yang sebenarnya sebelum si pemain menerima tantangan itu ia tak yakin bisa melampaui.
Orang bisa berpendapat keberhasilan tersebut karena faktor motivasi dari sang pelatih, atau juga karena ia memilih untuk tidak mengetahui jarak yang akan ditempuhnya sambil menutup mata. Itu semua mungkin benar saja.
Tapi saya punya cara pandang yang cukup berbeda. Saya dulu belajar dalam ilmu perilaku, semasa kuliah. Biasanya penelitian-penelitian semi ekperimental dilakukan, atau juga dengan metode pre-post test.
Pertama, yang dilakukan adalah mengukur tingkat pengetahuannya dan sikapnya, setelah itu dilakukan pelatihan, mentransfer pengetahuan, memberikan penyuluhan. Setelah penyuluhan dilakukan, dilakukan lagi tes, post test, untuk mengetahui seberapa besar perubahan pengetahuan dan seberapa besar perubahan sikap yang terjadi terhadap kasus yang sama yang diujikan, yang ukur, sebelum penyuluhan itu dilakukan. Yang dari sikap itu diharapkan terbentuk satu perilaku baru yang lebih baik.
Maka begini pendapat saya terhadap kisah pemain football di atas
Sikap yang pertama kali muncul dalam diri kita bahwa tidak mampu melampaui satu tantangan, sebelum mencobanya, sebenarnya lahir dari:
Pertama, faktor pengetahuan. ketidaktahuan yang cukup tentang potensi yang kita miliki. Kedua, faktor ketidaktahuan ini mempengaruhi keyakinan bahwa kita tidak bisa melampaui satu tantangan itu. Ketiga, faktor ketidakyakinan inilah yang akhirnya melahirkan sikap, cara pandang pada diri sendiri, bahwa kita memang tidak bisa melakukannya. Keempat, faktor sikap, cara pandang inilah yang membuat kita tidak berperilaku, berbuat, bekerja untuk menaklukkan tantangan itu.
Jadi, empat faktor diatas, bekerja secara berturut-turut didalam diri kita, mulai dari pengetahuan, lalu membentuk keyakinan, lalu membangun cara pandang (sikap).Yang terakhir, kita memilih perilaku tertentu untuk merespon sebuah keadaan di lingkungan kita.Jadi, cara kita membentuk satu perilaku baru terhadap anak didik itu harus memulainya dari proses penanaman pengetahuan
Kalau kita membaca bagaimana islam ini pertama kali diturunkan. Allah SWT memulai perintah kepada Sang Rasul dengan “iqro”. Bacalah!!. Nanti belakangan baru kemudian Allah menurukan “sesungguhnya tidak ada agama lain (yang benar disisi Allah) selain Islam” Maka transfer pengetahuan itu, menjadi tahap awal mengubah atau membentuk satu perilaku tertentu pada seseorang. Transfer atau peningkatan pengetahuan, yang tidak sekedar pengetahuan, tapi pengetahuan yang memiliki nilai-nilai.
Lalu bagaimana caranya agar pengetahuan yang kita transfer itu membentuk satu pemahaman pada seseorang lalu berubah menjadi satu keyakinan?
Inilah yang dikontekskan oleh Allah SWT dalam Al Quran, ketika Isa a.s menyampaikan berita kepada Bani Israil akan datangnya seorang nabi setelah dirinya. Isa a.s berkata; “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)."
Isa a.s menggunakan kata “bashiran” (kabar gembira), sangat jelas, terang, tak ada yang samar-samar. Ala bashirah.
Jadi, keyakinan akan sebuah pengetahuan itu sangat ditentukan seberapa kuat, sang informan menyampaikan informasi/pengetahuan itu kepada penerimanya dan meyakinkannya. Penjelasan yang terang, jelas, tanpa ambiguitas, membentuk pemahaman yang baik.
Pemahaman yang baik, yg terus menerus terakumulasi dalam diri kita akan membentuk satu keyakinan yang kuat. Sebagaimana Allah menurunkan perintah “iqra” membaca, mengisi akal kita dengan pengetahuan. Sebelum Allah, memastikan satu keyakinan pada diri kita bahwa “tidak ada agama lain (yang benar disisi Allah) kecuali Islam
Keyakinan yang kuat, yang terbentuk dari akumulasi nilai-nilai pengetahuan yang kita peroleh, akan membentuk paradigma, sikap tertentu. Cara pandang tertentu pada diri kita, menyebabkan penyikapan dari 2 orang terhadap satu masalah yang sama bisa jadi berbeda.Sebagaimana ketika ada fenomena kerusakan sosial, ada orang yang melihatnya sebagai sesuatu yang memang begitu adanya. Tapi ada juga yang melihatnya, fenomena itu sebagai sesuatu yang harus diubah, diperbaiki untuk membentuk satu tatatanan sosial baru, yang lebih baik. Lalu cara pandangnya,ssikap nya, membentuk cara kerja, perilaku tertentu dalam dirinya untuk mengubah keadaan itu.
Maka pengetahuan, sikap, perilaku, bekerja secara berturut-turut dalam diri kita lalu membentuk sebuah siklus.Dimana pengalaman, perilaku akan membentuk pengetahuan baru, pengetahuan baru akan membentuk sikap yang lebih baik seiring waktu. Dan itulah puncaknya. Karena Imam Al Ghazali mengatakan: "puncak dari llmu pengetahuan itu adalah gabungan antara pengetahuan dan pengalaman".
Mengertilah kita mengapa 3 hal ini, pemahaman, ikhlas dan amal dituliskan secara berturut-turut, sbg sifat yg harus dimiliki. Pemahaman dulu, baru melahirkan ikhlas yg tempatnya dalam hati dan salah satu isi hati adalah keyakinan, baru kemudian terbentuk yg berikutnya, amal. Bukan ikhlas dulu baru ilmu, atau amal. Tapi mengilmui dulu, memahami dulu baru lahirlah keikhlasan lalu amal atau kinerja atau perilaku.
Karena perubahan itu memang selalu dimulai dari dalam diri kita, dimulai dari perubahan cara kita berpikir
Sekian…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar