Saya ingin menulis ini, untuk merefleksi kembali perjalanan, dari titik awal saat kita mulai menyadari adanya krisis. Untuk menguatkan kembali orientasi kita, agar tidak goyah, karena perjalanan panjang dan mungkin melelahkan sedang terbentang dihadapan kita.
Kira-kira akhir tahun 2017 yang lalu, ada semacam kegelisahan yang muncul dalam diri saya secara pribadi dan juga teman-teman. Kegelisahaan itu terutama, ketika kita dibentur oleh dua fakta.
Fakta pertama adalah persoalan yang sangat dekat dengan saya secara pribadi, yaitu kegagapan partai islam dalam mensikapi realitas baru tentang negara, setelah dalam jangka waktu yang lama dididik dan hidup dengan nilai-nilai internal, tiba-tiba bertemu dengan realitas lain: *Ketaatan tanpa syarat kepada pimpinan, tiba-tiba hendak digunakan untuk menganulir pencapaian yang kita peroleh melalui mekanisme bernegara, tanpa perlu ada alasan rasional untuk menjelaskan pilihan kebijakan itu*
Apakah aturan organisasi bisa lebih tinggi dari aturan main bernegara?. Itu kira-kira pertanyaan besar yang muncul, diluar persoalan pribadi Fahri Hamzah dengan pimpinan partainya pada tahun 2016 itu.
Fakta pertama ini, melahirkan satu proses refleksi sejarah yang jauh kebelakang dan dari refleksi ini, kita akan menemukan satu fakta bahwa konflik internal partai politik islam di berbagai belahan dunia islam adalah kenyataan yang selalu muncul setiap kali mereka memasuki fase politik dan mulai masuk lebih jauh ke dalam arena kekuasaan.
Cerita ini banyak kita temukan, misalnya konflik Erdogan dan Erbakan yang menyebabkan lahirnya AKP dan Saadet Party di Turki.
Fakta kedua adalah peristiwa yang terjadi tahun 2013, kegagalan kelompok islamis di panggung negara, dalam gelombang kontra arab spring, yang kira-kira puncak peristiwanya adalah jatuhnya Mursi dipanggung kekuasaan.
Peristiwa ini, menguatkan kembali opini tentang relevansi gagasan islam politik, karena pemerintah Mursi hanya bisa bertahan setahun.
Belum lagi fakta-fakta lain tentang kegagalan politik islam di dalam mengelola negara yang telah berlangsung di tahun-tahun sebelumnya. Sebut saja diantaranya En Nahdah, Tunisia; FIS Aljazair, Hamas Palestina, Refah Turki, dan seterusnya.
Fakta kedua ini, melahirkan refleksi lain, bahwa semua literatur politik islam yang kita miliki dan kita warisi, tidak lagi relevan untuk membaca dan menjawab realitas politik kontemporer, termasuk relevansinya untuk membuat kaum islam politik sampai pada capaian politik yang sukses besar.
Dua fakta diatas, telah menghadirkan satu kesadaran yang kuat, bahwa *Gerakan Islam Politik sedang mengalami krisis*. Krisis yang membuat mereka tidak bisa membaca persoalan secara tepat apalagi berpikir untuk menghadirkan solusi atas persoalan itu.
*Krisis Gerakan Islam politik*, terjadi saat mereka belum lagi sukses mengelola negara.
Jumat 12/06/2020
@arifmahmudah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar