Reformasi telah berjalan lebih dari 20 tahun. Belum lagi ada perubahan besar yang bisa kita saksikan. Amanat reformasi belum lagi tertunaikan tuntas, tetapi Indonesia kini dihadapkan dengan fakta internalnya yang cukup rumit.
Utang luar negeri yang terus bertambah, pembelahan masyarakat akibat politik/pemilu yang makin besar, persoalan penegakan hukum, kualitas pendidikan yang rendah, belum lagi konflik elit politik yang berterusan, adalah sajian hari-hari yang terus kita saksikan.
Pada saat yang sama, dalam skala global kita juga dihadapkan pada kondisi ekonomi dan politik global yang rumit, terutama dampak dari kontestasi China-Amerika dalam berebut pengaruh dan posisi di level global.
Dalam konteks global itulah, posisi Indonesia pasti akan mendapatkan pengaruh dari kontestasi negara-negara maju itu, terutama China-Amerika.
Dalam perjalanannya, di gelombang pertama sejarah Indonesia, revolusi Industri telah mendorong terjadinya ekspansi negara-negara Eropa, lalu lahirlah kolonialisme, yang menjadi cerita permulaan dari Perang Dunia I.
Politik etis yang dijalankan oleh Belanda terhadap Indonesia di masa itu, telah melahirkan kaum terdidik di kalangan masyarkat Indonesia, lalu dimulailah “era kebangkitan nasional” yang melahirkan gagasan tentang *Indonesia Merdeka*.
Jepang sebagai salah satu kekuatan Asia saat itu, kemudian menggantikan posisi Belanda di Indonesia dalam Perang Dunia II, dan menjadikan Indonesia sebagai “pangkalan militer” terpenting menghadapi Amerika Serikat dalam Perang Pasifik. Kekalahan Jepang, dalam perang ini, setelah Hirosima dan Nagasaki diporak-porandakan oleh nuklir Amerika, telah membuka lebar jalan, bagi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ada kekalahan perang disana, ada celah jalan untuk merdeka.
Peristiwa-peristiwa eksternal telah mendorong perubahan-perubahan besar di Indonesia.
Selalu ada ekses, dari peristiwa-peristiwa global, terhadap kondisi dalam negeri Indonesia.
Saat perang dingin Soviet-Amerika, kita juga mendapatkan pengaruhnya. Kita, bangsa Indonesia mengalami konflik Ideologi, terutama karena pengaruh Soviet sebagai negara sosialis (komunis) dan Amerika sebagai representase negara kapitalis.
Dari perang dingin itu, kita mengalami konflik segitiga: Nasionalisme-Komunisme-Islam.
Itulah sepenggal cerita, bangsa Indonesia di gelombang kedua: *menjadi negara Indonesia modern* dan itulah hari-hari yang kita jalani dalam proses pembentukan konsep negara Indonesia Modern.
Dalam situasi krisis seperti ini, kita membutuhkan faktor pendorong dari dalam, agar kita bisa keluar sebagai negara yang lebih kuat dari celah patahan sejarah yang sangat mungkin ditimbulkan oleh konflik China-Amerika ini.
Harus ada kerja kepemimpinan yang akan memicu lahirnya gelombang kesadaran baru, yang memberikan kita arah menuju pencapaian baru sebagai bangsa modern.
Menunjukkan arah bangsa, dan mengajak seluruh bangsa ini ke sana, adalah tugas kepemimpinan terpeting saat ini.
Sebagaimana dulu, ada gerakan kebangkitan nasional saat Perang Dunia I, dan ada gerakan perjuangan kemerdekaan saat Perang Dunia II. Atau gerakan non blok yang digagas terutama oleh Soekarno dalam periode Perang Dingin yang mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa di Dunia.
Tapi, inilah *krisis kedua*, *setelah krisis pertama (krisis gerakan islam politik)*, yang menjadi kenyataan yang harus kita terima: NKRI kehilangan arah
Kepemimpinan nasional tidak bisa memberikan kita cerita, gagasan, tentang arah yang harus kita tuju bersama di tengah makin kuatnya prediksi potensi terjadinya Perang Dunia III di tahun-tahun mendatang.
Ahad, 14/06/2020
@arifmahmudah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar