Sabtu, 12 November 2011
Tidakkah kau lihat anak kecil, hai orang yang berakal
Ia tak punya pengetahuan tentang dirinya
Telinganya tidak tahu apa itu irama
(Iqbal)
Laki-laki itu berdiri tegap di tengah-ditengah zamannya. Ketika zaman dibingungkan oleh hilangnya identitas manusianya. Jejak-jejak kemunduran telah nampak begitu jelas. Ketika manusia tenggelam dalam parsialisasi agama dan kehidupan, laki-laki itu berdiri menentang badai parsialisasi. Ketika para pendahulu, larut dalam kebingungan atau mulai putus asa terhadap realitas, laki-laki itu berteriak lantang “inilah aku”. Laki-laki itu adalah Hasan Al Banna.
Keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani menjadi puncak kebingungan manusia muslim tentang siapa dirinya. Mereka bagaiakan anak-anak ayam yang kehilangan induk. Hasan Al Banna muda berdiri dan berteriak lantang di tengah zaman untuk menegaskan dirinya. Bukan hanya sebagai individu tapi sebagai muslim.
“Akulah petualang yang mencari kebenaran, Akulah manusia yang mencari makna dan hakekat kemanusiaannya di tengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air di bawah naungan Islam yang hanif.
Adalah kalimat-kalimatnya untuk penegasan tentang jati dirinya. Tentang siapa dirinya dan bagaimana ia akan bekerja mengambil tugas kemanusiaannya. Dan ini juga penjelasan tentang besar cita-citanya.
Akulah lelaki bebas yang telah mengetahui rahasia wujudnya, maka Ia pun berseru, 'Sesungguhnya Shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, tuhan semesta Alam yang tiada sekutu bagi-Nya. Kepada yang demikian itulah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.' Inilah Aku. Dan kamu, Kamu sendiri siapa?"
Adalah kalimat-kalimatnya untuk menegaskan orientasi dari semua amal kehidupan yang telah dan akan terus-menerus dilakukannya selama hidup tanpa henti. Juga penjelasan tentang penyerahan diri yang total kepada Sang Pencipta terhadap semua upaya manusiawinya.
Sikap ini memang tak dimiliki oleh banyak orang. Seperti itulah sejarah akhirnya mengajarkan kepada kita kisah Dzul Jausyan, yang ditawari Rasulullah SAW untuk masuk islam setelah usainya perang badar. Tapi ia menolak bergabung, karena alasan kaum muslimin saat itu begitu tertindas dan terusir dari tanah tercinta mereka. Dzul Jausyan hanya akan bergabung jika Rasulullah berhasil menaklukkan kota mekkah. Dan Rasulullah menjanjikan kemenangan itu. Berselang 7 tahun kemudian, kota mekkah dibebaskan, Dzul Jausyan kemudian menyesali ketidakbergabungannya sejak awal, dan ia tertinggal jauh dari kemuliaan mereka yang merintis jalan menuju pembebasan kota Mekkah, setelah 10 tahun hijrah.
“Inilah aku” adalah kata yang mewakili sifat kepeloporan, inisiatif mengambil tanggung jawab sekaligus penegasan jati diri yang hakiki di tengah kebingungan manusia tentang siapa dirinya. Dan sikap ini mungkin tak kita temukan di zaman saat ia hidup.
Kita perlu meniru sikap ini, karena ini juga merupakan sikap yang telah dicontohkan oleh Nabi umat ini. Ketika ia harus berdiri tegap di tengah-tengah masyarakat jahiliyah jazirah arab untuk menegaskan hakekat kemanusiaan dan penghambaan yang tanpa kompromi, hanya kepada Allah SWT.
“Inilah Aku” adalah penjelasan tentang kepeloporan, yang dengannya seseorang berdiri tegap seorang diri dan kini diikuti oleh ribuan dan bahkan milyaran manusia. Tapi harga yang harus di bayar oleh sikap ini memang mahal. Sehingga banyak yang kemudian memilih untuk tidak mengambil sikap-sikap ini karena tidak sanggup menanggung beban dan benturan yang kelak pasti dihadapinya.
Dalam konteks perubahan, kata “inilah aku” adalah titik tolak untuk bergerak. “Inilah aku” dimulai dengan penegasan tentang jati diri, lalu keluar membimbing manusia mengenalkan hakekat diri mereka sendiri, sebagai manusia dan sebagai muslim. Pengenalan jati diri ini akan menjadi langkah awal menuju perubahan arah kehidupan manusia. Dan itulah juga sebabnya mereka, para pelopor itu menjadi teladan sepanjang masa, yang dari merekalah kita belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar