Kamis, 20 Desmber 2012
Sepulang ngisi liqo, salah seorang ikhwa, membuka kembali “facebook dakwahnya”. Untuk satu diskusi dengan salah seorang saudaranya yang jauh diseberang sana. Saya mau membagikannya untuk antum semua. Bismillah
Ikhwan A:
Akh, bagaimana pendapat ente. Jika ada kasus seperti ini: ada satu halaqoh sudah gak jalan hampir 2 bulan. Setelah ane tanyain, alasannya karena kesibukan murobbinya, tugas-tugas kantor yang cukup banyak.
Padahal untuk alasan yang sama atau hampir sama dan berulang sampai dua bulan, menurut saya itu sudah tidak layak menjadi alasan
Ikhwan B :
Saya jadi teringat, cerita salah seorang ustad.
Ada satu moment, dimana seorang pimpinan DPTW di satu wilayah, sedang dihadapkan pada dua kondisi yang sama pentingnya. Yang pertama ada rapat DPTW dan dia yang memimpin rapatnya. Yang kedua, dia harus menyiapkan ujian disertasinya esok hari. Tidak mungkin dikerjakan dua-duanya. Tak mungkin juga diabaikan dua-duanya.
Ikhwan A : Jadi apa sikapnya?
Ikhwan B :
Dalam dua keadaan itu, beliau tidak mungkin digantikan. Tapi beliau memutuskan untuk menyiapkan disertasinya dan mengabaikan rapat DPTW. Dan asumsi tersebut benar, salah satu personel DPTW menggantikan beliau untuk memimpin rapat.
Ikhwan A :
Hmmm, aku masih termangu ,meresapi maknanya…..
Ikhwan B :
Jangan mengatakan hal tersebut salah. Karena sikap yang dipilihnya ini dibangun dari asumsi bahwa “ jika tidak ada yang mau menggantikan beliau memimpin rapat DPTW maka biarkanlah keadaan sendiri yang berproses menggantikan beliau”
Ikhwan A :
Berproses menggantikan , itu maksudnya seperti dalam Q.S 5 : 54 ya?
Ikhwan B :
Ya, pada sebagiannya.
Contoh lain, jika pada satu waktu tak ada yang gantikan ente ngisi liqo. “Biarkan saja” seperti itu untuk satu atau dua kali pertemuan
Ikhwan A :
(Masih terus mendengarkan dengan serius) Biarkan? (tanya nya dalam hati)
Ikhwan B :
(lanjut…), karena boleh jadi, absen mengisi liqo akan menegur komitmen orang lain yang malas mengisi liqo. Dan tanamkanlah juga yakin, bahwa dakwah ini milik Allah dan semuanya dalam rekayasa Allah.
Ikhwan A :
Apakah kita juga bisa memahaminya begini: “disisi lain, itu menjadi ujian bagi yang lain untuk siap mengambil tanggung jawab itu, jika kondisinya sudah demikian?
Ikhwan B :
Ya benar. Tapi, yang juga harus dipertegas dalam konteks amanah yang lebih luas adalah bahwa harus ada batas yang tegas antara tanggung jawab dan kebodohan sikap. Keduanya sangat berbeda, dalam konteks ini, meski kadang keduanya tampak sama”
Ikhwan A :
Kebodohan dari siapa dan tanggung jawab dari siapa?
Ikhwan B : dari diri sendiri….
Ikhwan A :
Apa salah, jika mengambil inisiatif untuk menyelesaikan solusi (kasus pada liqoat tadi) karena kesadaran bahwa kader itu milik dakwah? Sebagai bentuk tanggung jawab?
Atau itu yang dimaksud dengan kebodohan? Karena terus membebani diri dengan urusan yang terus menumpuk padahal sebenarnya itu wilayah tanggung jawab orang lain?
Ikhwan B :
Selesaikan amanah yang dibebankan padamu, yang menjadi tanggung jawab pribadimu. Jika masih ada ruang, silahkan bantu orang lain untuk menyelesaikan tanggungjawabnya.
Ikhwan A : ……..(kembali termangu)
Ikhwan B :
Terus menerus mengambil alih tanggung jawab yang merupakan amanah orang lain, itu tidak selalu bijak.
Ikhwan A : ……..(masih termangu)
Ikhwan B :
Penting menurut saya antum memahami kapasitas dan kemampuan diri sehingga mampu memproyeksi batas tanggung jawab yang bisa dipikul.
Ikhwan A : ……..(terus termangu)
Ikhwan B :
Apa artinya berkelompok (berjamaah) jika aktifitas yang dominan adalah aktifitas individu. Saya teringat lagi nasehat seorang ustad.
Ikhwan A : Apa itu?
Ikhwan B :
Walaupun seorang kader ngisi halaqah 3 kali sehari, 7 kali sepekan, itu tak mengurangi beban dakwah setetespun. antum pernah baca kan artikel ustad cahyadi tentang miopy dakwah. Antum sudah lama dalam jamaah ini. Antum cukup banyak menyerap semangat dakwah para asatidz tapi boleh jadi antum jarang menyelami diri antum. terutama konsepsi diri antum
Ikhwan A : trus…..??
Ikhwan B :
harus ada refleksi bentukan yang sesuai antara irama dakwah dan irama hidup. Yaitu kemampuan mengambil sikap yang obyektif di tengah rumitnya masalah dakwah dan masalah hidup
Ikhwan A : Apakah ada contoh teknisnya?
Ikhwan B :
Tidak terlalu jauh, lihatlah sikap hidup para asatidz kita mulai dari ustadz hilmi, ustadz tifatul, ustadz anis matta, dan yang lainnya. Mereka punya masalah dalam pandangan kader seperti kita. Masalah hidup mereka dan masalah dakwah mereka hampir tiada beda
Ikhwan A : (menyimak)
Ikhwan B :
Dibungkus selogan hidup adalah dakwah Tapi ternyata pengakuan mereka dibalik layar sangat beda antara masalah hidup mereka dan masalah dakwah.
Ikhwan A :
mereka tidak pernah membawa masuk masalah hidup pribadi mereka, ke dalam dakwah ini?
Ikhwan B : Na`am. Akhi….
Ikhwa A :
Terdiam. Nampak matanya basah oleh air bening yang mengalir diujung pelupuk matanya.
Inilah dakwah saudaraku, Inilah dakwah saudaraku. Inilah dakwah saudaraku.
Semoga kita kuat. Dengan pemahaman yang mendalam, agar kita tak menjadi lilin yang menerangi sekita tapi terus membunuh diri sendiri
Semoga kita kuat. Karena hari – hari yang kita jalani ini, adalah hari-hari yang akan selalu didatangi oleh ujian yang terus menguji seberapa kuat kita bertahan diatasnya.
Fitnah dihadapan membentang, dan siap memangsa siapa saja yang lemah. Semoga kita semuanya diberikan kekuatan.
Dan jika satu waktu kita hanya boleh memohon satu doa, berdoalah seperti ini:
“Yaa Allah teguhkanlah aku dijalan agama-Mu ini”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar